Ayat Ekonomi tentang Pilantropi QS. at-Taubah (9) : 60 dan Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer

Ayat Ekonomi tentang Pilantropi (Kedermawanan)
QS. at-Taubah (9) : 60



Terjemah

60.  Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana [647].

[647]  yang berhak menerima zakat ialah: 

1. orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 

2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. 

3. Pengurus zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. 

4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 

5. memerdekakan budak: mencakup juga untuk melepaskan muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 

6. orang berhutang: orang yang berhutang Karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 

7. pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 

8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.

Tafsir Ayat

{إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (60) }

Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin. pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.

Setelah Allah menyebutkan bantahan orang-orang munafik yang bodoh kepada Nabi Saw. serta celaan mereka kepada Nabi Saw. dalam pembagian harta zakat. maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang membagikannya dan Dialah yang menjelaskan hukumnya serta mengatur urusannya, Dia tidak akan menyerahkan hal tersebut kepada siapa pun. Maka Allah membagi-bagikannya di antara mereka yang telah disebut­kan di dalam ayat ini.

Imam Abu Daud di dalam kitab Sunnah-nya telah meriwayatkan melalui hadis Abdur Rahman ibnu Ziyad ibnu An'am —yang berpredikat agak daif-—. dan Ziyad ibnu Na'im, dari Ziyad ibnul Haris As-Sadai r.a. yang menceritakan bahwa ia datang kepada Nabi Saw., lalu ia berbaiat (mengucapkan janji setia) kepadanya. Kemudian datanglah seorang lelaki. dan lelaki itu berkata kepada Nabi Saw., "Berilah saya sebagian dari zakat itu." Maka Nabi Saw. bersabda kepadanya:
"إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَرْضَ بِحُكْمِ نَبِيٍّ وَلَا غَيْرِهِ فِي الصَّدَقَاتِ حَتَّى حَكَمَ فِيهَا هُوَ، فَجَزَّأَهَا ثَمَانِيَةَ أَصْنَافٍ، فَإِنْ كُنْتَ مِنْ تِلْكَ الْأَجْزَاءِ أَعْطَيْتُكَ"

Sesungguhnya Allah tidak rela kepada keputusan seorang nabi pun, tidak pula orang lain dalam masalah zakat-zakat itu, melainkan Dia sendirilah yang memutuskannya. Maka Dia membagi-bagikannya kepada delapan golongan. Jika engkau termasuk di antara delapan golongan itu, maka aku akan memberimu.

Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan delapan golongan ini, apakah pembagian harta zakat harus diberikan kepada delapan golongan itu secara penuh, ataukah hanya kepada yang ada saja di antara kedelapan golongan itu? Ada dua pendapat mengenainya.

Pendapat pertama mengatakan bahwa harta zakat harus dibagikan kepada semua golongan yang delapan itu. Pendapat ini dikatakan oleh Imam Syafii dan sejumlah ulama.

Pendapat kedua mengatakan bahwa tidak wajib membagikan harta zakat kepada semua golongan yang delapan itu, melainkan boleh diberi­kan kepada satu golongan saja di antara mereka. Semua harta zakat boleh diberikan kepadanya, sekalipun golongan yang lain ada. Pen­dapat ini dikatakan oleh Imam Malik dan sejumlah ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf, antara lain ialah Umar, Huzaifah, Ibnu Abbas, Abul Aliyah, Sa'id ibnu Jubair dan Maimun ibnu Mahran.

Ibnu Jarir memberikan komentarnya, bahwa pendapat inilah yang dipegang oleh kebanyakan ahlul 'ilmi. Dengan demikian, penyebutan kedelapan golongan dalam ayat ini hanyalah semata-mata untuk menerangkan pengalokasiannya saja, bukan wajib memenuhi kesemuanya. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai alasan dan dalil masing-masing kedua golongan tersebut, uraiannya disebutkan di dalam kitab lain.

Sesungguhnya kaum fakir miskin disebutkan lebih dahulu dalam ayat ini daripada golongan yang lain, karena mereka lebih memerlukannya ketimbang golongan lain, menurut pendapat yang terkenal; juga mengingat hajat dan keperluan mereka yang sangat mendesak.

Menurut Imam Abu Hanifah, orang miskin lebih buruk keadaannya daripada orang fakir. Pendapatnya ini seirama dengan apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Muhammad yang menceritakan bahwa Umar r.a. pernah mengatakan. '"Orang fakir bukan orang yang tidak mempunyai harta, tetapi orang yang miskin akhlak dan pekerjaan (usaha)." Ibnu Ulayyah mengatakan.”'Menurut kami, istilah akhlak artinya pekerjaan, sedangkan menurut jumhur ulama kebalikannya."

Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan Al-Basri, dan Ibnu Zaid; serta dipilih oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang, bahwa orang fakir ialah orang yang menjaga kehormatannya dari meminta-minta dia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain. Sedangkan orang miskin ialah orang yang meminta-minta, berkeliling mengemis dan mengikuti orang-orang untuk meminta darinya.

Qatadah mengatakan. orang fakir ialah orang yang berpenyakit menahun, sedangkan orang miskin ialah orang (yang tidak punya, tetapi) tubuhnya sehat.

As-Sauri telah meriwayatkan dari Mansur, dari Ibrahim, bahwa yang dimaksud dengan fuqara dalam ayat ini ialah kaum fuqara Muhajirin.

Sufyan As-Sauri mengatakan, makna yang dimaksud ialah orang-orang Arab Badui tidak boleh diberi sesuatu pun dari harta zakat itu. Hal yang sama telah diriwayatkan dari Sa'id ibnu Jubair dan Sa'id ibnu Abdur Rahman ibnu Abza.

Ikrimah mengatakan. ''Janganlah kalian katakan kepada orang-orang muslim yang tidak punya bahwa mereka adalah orang-orang miskin. Sesungguhnya orang-orang miskin itu hanyalah kaum Ahli Kitab."

Berikut ini kami sebutkan hadis-hadis yang berkaitan dengan delapan golongan tersebut.

Mengenai orang-orang fakir diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda."
"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّة سَويّ"

Zakat itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi bermata pencaharian.

Hadis ini merupakan riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi. Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abu Hurairah.
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ: أَنَّ رَجُلَيْنِ أَخْبَرَاهُ: أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلَانِهِ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَلَّبَ إِلَيْهِمَا الْبَصَرَ، فَرَآهُمَا جَلْدين، فَقَالَ: "إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ".

Dari Ubaidillah ibnu Addi ibnul Khiyar, disebutkan bahwa dua orang lelaki pernah menceritakan kepadanya; keduanya pernah datang kepada Nabi Saw. meminta bagian harta zakat. Maka Nabi Saw. memandang tajam kepada keduanya, dan Nabi Saw. menilai keduanya adalah orang yang kuat lagi sehat. Lalu Nabi Saw. bersabda: Jika kamu berdua menginginkannya, maka aku akan memberi kamu berdua; tetapi tidak ada bagian dari zakat bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi mempunyai kasab (mata pencaharian).

Hadis riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Nasai dengan sanad yang jayyid lagi kuat.

Ibnu Abu Hatim di dalam kitab Al-Jarh Wat Ta'dil mengatakan bahwa Abu Bakar Al-Absi mengatakan bahwa Umar ibnul Khattab r.a. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir. (At-Taubah: 60) Lalu ia berkata bahwa mereka adalah Ahli Kitab. Umar ibnu Nafi meriwayatkannya dari dia, bahwa ia telah mendengar ayahnya mengata­kan hal tersebut.

Pendapat ini sangat aneh, sekalipun sanadnya dianggap sahih; karena sesungguhnya Abu Bakar Al-Absi ini —sekalipun Abu Hatim tidak me-nas-kan predikat majhul (misteri)nya— (tetapi) kedudukannya sama dengan orang yang majhul.

Adapun mengenai orang-orang miskin, hadisnya disebutkan melalui Abu Hurairah r.a.,, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: 
"لَيْسَ الْمِسْكِينُ بِهَذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ، فتردُّه اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ، وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ". قَالُوا: فَمَا الْمِسْكِينُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: "الَّذِي لَا يجدُ غِنًى يُغْنِيهِ، وَلَا يُفْطَن لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسُ شَيْئًا".

Orang miskin itu bukanlah orang yang suka berkeliling meminta-minta kepada orang lain, lalu ia pergi setelah diberi sesuap atau dua suap makanan. dan setelah diberi sebiji atau dua biji buah kurma. Mereka (para sahabat) bertanya, "Lalu siapakah orang yang miskin itu, wahai Rasulullah?'" Nabi Saw. bersabda: Orang yang tidak menemukan kecukupan yang menjamin kehidupannya; dan keadaannya tidak dikenal, hingga sulit untuk diberi sedekah; dan ia tidak pernah meminta sesuatu pun dari orang lain.

Hadis riwayat Syaikham.

Adapun orang-orang yang menjadi pengurus zakat atau amilin, maka mereka adalah orang-orang yang ditugaskan menagih zakat dan mengumpulkannya: mereka mendapat hak dari sebagian zakat. Tetapi para 'amilin itu tidak boleh dari kalangan kerabat Rasulullah Saw. yang haram memakan harta zakat. karena berdasarkan apa yang disebutkan di dalam kitab Sahih Muslim, dari Abdul Muttalib ibnu Rabi'ah ibnul Haris yang mengatakan bahwa ia pergi bersama Al-Fadl ibnu Abbas menghadap Rasulullah Saw. untuk menawarkan dirinya menjadi amil zakat. Tetapi Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنَّ الصَّدَقَةَ لَا تَحِلُّ لِمُحَمَّدٍ وَلَا لِآلِ مُحَمَّدٍ، إِنَّمَا هِيَ أَوْسَاخُ النَّاسِ"

Sesungguhnya zakat itu tidak halal bagi Muhammad, tidak pula bagi keluarga Muhammad. Sesungguhnya zakat itu hanyalah kotoran (harta) manusia.

Adapun mengenai muallafah qulubuhum atau orang-orang yang dijinakkan hatinya untuk masuk Islam, mereka terdiri atas berbagai golongan. Antara lain ialah orang yang diberi agar mau masuk Islam, seperti apa yang pernah dilakukan oleh Nabi Saw. kepada Safwan ibnu Umayyah. Beliau Saw. memberinya bagian dari ganimah Perang Hunain, padahal Safwan ibnu Umayyah ikut dalam Perang Hunain dalam keadaan masih musyrik. Safwan ibnu Umayyah mengatakan, "Rasulullah Saw. terus-menerus memberiku," sehingga beliau menjadi orang yang paling ia sukai, padahal sebelumnya Rasulullah Saw. adalah orang yang paling ia benci.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Addi, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnu Musayyab, dari Safwan ibnu Umayyah yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. memberinya bagian dalam Perang Hunain. Dan bahwa saat itu Rasulullah Saw. merupakan orang yang paling tidak disukai olehnya. Tetapi Rasulullah Saw. terus-menerus memberinya hingga Rasulullah Saw. menjadi orang yang paling dia sukai.

Imam Muslim dan Imam Turmuzi meriwayatkannya melalui hadis Yunus, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama.

Di antara mereka ada orang yang diberi agar Islamnya bertambah baik dan imannya bertambah mantap dalam hatinya, seperti apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dalam Perang Hunain kepada sejumlah orang dari kalangan pemimpin-pemimpin dan orang-orang terhormat Mekah yang dibebaskan. Kepada setiap orang dari mereka, Rasulullah Saw. memberinya seratus ekor unta. 

Lalu Rasulullah Saw. bersabda:
"إِنِّي لَأُعْطِي الرَّجُلَ وَغَيْرُهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْهُ، مَخَافَةَ أَنْ يَكُبَّه اللَّهُ عَلَى وَجْهِهِ فِي نَارِ جَهَنَّمَ"

Sesungguhnya aku benar-benar memberi kepada seorang lelaki, padahal ada orang lain yang lebih aku sukai daripadanya, karena aku takut bila Allah menyeretnya dengan muka di bawah ke dalam neraka Jahannam.

Di dalam kitab Sahihain disebutkan melalui Abu Sa'id, bahwa Ali r.a. mengirimkan bongkahan emas yang masih ada tanahnya dari negeri Yaman kepada Nabi Saw. Kemudian Nabi Saw. membagi-bagikannya di antara empat orang, yaitu Al-Aqra' ibnu Habis, Uyaynah ibnu Badar, Alqamah ibnu Ilasah, dan Zaid Al-Khair, lalu beliau Saw. bersabda:
"أَتَأَلَّفُهُمْ"

(Aku memberi mereka untuk) aku jinakkan hati mereka (kepada Islam).

Di antara mereka ada orang yang diberi dengan harapan agar orang-orang yang semisal dengannya mau masuk Islam pula. Dan di antara mereka terdapat orang yang diberi agar dia memungut zakat dari orang-orang yang berdekatan dengannya, atau agar dia mau membela negeri kaum muslim dari segala marabahaya yang datang dari perbatasan. Perincian keterangan mengenai hal ini disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih.

Apakah kaum muallafah qulubuhum tetap diberi sesudah masa Nabi Saw.? Hal ini masih diperselisihkan. Telah diriwayatkan dari Umar, Amir, Asy-Sya’bi. dan sejumlah ulama, bahwa mereka tidak pernah memberi kaum muallafah qulubuhum sesudah Nabi Saw., karena Allah telah menguatkan Islam dan para pemeluknya serta menjadikan mereka berkuasa penuh di negerinya dengan mantap dan stabil, serta semua hamba tunduk kepada mereka.

Ulama lainnya mengatakan, "Bahkan mereka masih tetap diberi, karena Rasulullah Saw. masih tetap memberi mereka sesudah kemenangan atas Mekah dan sesudah kalahnya orang-orang Hawazin. Hal ini merupakan suatu perkara yang terkadang diperlukan, maka sebagian dari harta zakat diberikan kepada mereka yang masih dijinakkan hatinya untuk memeluk Islam."

Adapun mengenai budak-budak, maka diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri, Muqatil ibnu Hayyan, Umar ibnu Abdul Aziz, Sa'id ibnu Jubair, An-Nakha'i, Az-Zuhri, dan Ibnu Zaid, bahwa mereka adalah budah-budak Mukatab. Hal yang semisal telah diriwayatkan pula dari Abu Musa Al-Asy'ari. Pendapat inilah yang dikatakan oleh Imam Syafii dan Al-Lais.

Ibnu Abbas dan Al-Hasan mengatakan bahwa tidak mengapa budak dimerdekakan dari harta zakat. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Ishaq. Dengan kata lain, istilah ar-riqab lebih umum, mencakup mukatab dan lainnya. Harta zakat itu dibelikan budak, lalu dimerdekakan.

Telah disebutkan oleh banyak hadis tentang pahala memerdekakan budak dari belenggu perbudakan, dan bahwa Allah memerdekakan setiap anggota tubuh dari budak itu setiap anggota tubuh dari orang yang memerdekakannya, hingga kemaluan dengan kemaluan (yakni dari api neraka). Hal ini tiada lain karena pembalasan itu disesuaikan dengan jenis amalnya, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya:
{وَمَا تُجْزَوْنَ إِلا مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ}

Dan tidaklah kalian diberi pembalasan melainkan terhadap apa yang telah kalian kerjakan. (Ash-Shaffat: 39)

Dari Abu Hurairah r.a., disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
"ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عونُهم: الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ".

Ada tiga macam orang yang pasti ditolong oleh Allah, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, budak mukatab yang berniat untuk melunasinya, dan orang yang menikah dengan niat hendak memelihara kehormatannya.

Hadis ini merupakan riwayat Imam Ahmad dan Ahlus Sunan, kecuali Imam Abu Daud.
Di dalam kitab Musnad disebutkan melalui Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan bahwa pernah datang seorang lelaki. lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, tunjukkanlah aku kepada suatu amal yang dapat mendekatkan diriku ke surga dan menjauhkan diriku dari neraka." Maka Nabi Saw. bersabda:
"أَعْتِقِ النسَمة وَفُكَّ الرَّقَبَةَ". فَقَالَ: يَا رَسُولَ الله، أو ليسا وَاحِدًا؟ قَالَ: "لَا عِتْقُ النَّسَمَةِ أَنْ تُفرد بِعِتْقِهَا، وَفَكُّ الرَّقَبَةِ أَنْ تُعِينَ فِي ثَمَنِهَا"

Merdekakanlah budak dan lepaskanlah tanggungan (leher)nya. Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah pengertian keduanya sama?" Rasulullah Saw. menjawab: Tidak. Memerdekakan budak artinya kamu memerdekakannya sendiri, sedangkan melepaskan tanggungannya ialah kamu membantu pelunasannya.

Adapun istilah garimun atau orang-orang yang berutang, mereka terdiri atas beberapa golongan. di antaranya ialah orang yang menanggung suatu tanggungan atau menjamin suatu utang, hingga ia diharuskan melunasinya. lalu utangnya itu menghabiskan semua hartanya. Atau ia tenggelam dalam utangnya sehingga tidak mampu melunasinya, atau utang yang menghabiskan semua hartanya itu ia lakukan dalam maksiat, kemudian ia bertobat. maka terhadap mereka semua diberikan sebagian dari harta zakat.

Dalil asal dalam bab ini ialah hadis Qubaisah ibnu Mukhariq Al-Hilali yang menceritakan bahwa ia menanggung suatu tanggungan utang, lalu ia datang menghadap Rasulullah Saw. untuk meminta sebagian dari harta zakat guna melunasinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
"أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ، فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا". قَالَ: ثُمَّ قَالَ: "يَا قَبِيصة، إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ: رَجُلٍ تحمَّل حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا، ثُمَّ يُمْسِكَ. وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ، فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ: أَوْ قَالَ: سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ -وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ، فَيَقُولُونَ: لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ، حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ -أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ -فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ سُحْتٌ، يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا".

Tinggallah kamu hingga harta zakat datang kepada kita, maka akan kami perintahkan untuk memberikan sebagiannya kepadamu. Selanjutnya Rasulullah Saw. bersabda: Hai Qubaisah, sesungguhnya meminta itu tidak halal kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam orang, yaitu bagi seorang lelaki yang menanggung suatu tanggungan utang, maka dihalalkan baginya meminta hingga ia dapat melunasinya, kemudian menahan diri dari meminta-minta. Dan seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah hingga semua hartanya habis, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga ia memperoleh pegangan bagi kehidupannya, atau kecukupan bagi kehidupannya. Dan seorang lelaki yang tertimpa kemiskinan, hingga ada tiga orang yang berakal (bijak) dari kalangan kerabat dalam kaumnya mengatakan bahwa sesungguhnya si Fulan telah jatuh miskin, maka dihalalkan baginya meminta-minta hingga beroleh pegangan kehidupan atau ke­cukupan bagi penghidupannya. Adapun meminta-minta yang bukan berdasarkan alasan tersebut, maka hal itu merupakan barang haram yang dimakan oleh pelakunya.

Hadis ini merupakan riwayat Imam Muslim.

Dari Abu Sa'id, disebutkan bahwa di masa Rasulullah Saw. pernah ada seorang lelaki yang tertimpa suatu musibah, karena buah-buahan yang dibelinya busuk semua, hingga ia berutang banyak. Maka Nabi Saw. bersabda, 
تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ". فَتَصَدَّقَ النَّاسُ فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ: "خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ، وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ".

"Bersedekahlah kalian untuknya." Maka orang-orang (para sahabat) memberikan sedekah mereka kepadanya, tetapi hal tersebut masih juga belum dapat melunasi utangnya. Lalu Nabi Saw. bersabda kepada para pemilik piutangnya: Ambillah apa yang kalian jumpai, dan tidak ada lagi bagi kalian kecuali hanya itu (Riwayat Muslim).
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ، أَنْبَأَنَا صَدَقَةُ بْنُ مُوسَى، عَنْ أَبِي عِمْرَانَ الجَوْني، عَنْ قَيْسِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ قَاضِي الْمِصْرَيْنِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَدْعُو اللَّهُ بِصَاحِبِ الدَّيْنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حتى يوقف بين يديه، فيقول: يا بن آدَمَ، فِيمَ أَخَذْتَ هَذَا الدَّيْنَ؟ وَفِيمَ ضَيَّعْتَ حُقُوقَ النَّاسِ؟ فَيَقُولُ: يَا رَبِّ، إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي أَخَذْتُهُ فَلَمْ آكُلْ وَلَمْ أَشْرَبْ وَلَمْ أُضَيِّعْ، وَلَكِنْ أَتَى عَلَى يَدَيَّ إِمَّا حَرْقٌ وَإِمَّا سَرَقٌ وَإِمَّا وَضِيعَةٌ. فَيَقُولُ اللَّهُ: صَدَقَ عَبْدِي، أَنَا أَحَقُّ مَنْ قَضَى عَنْكَ الْيَوْمَ. فَيَدْعُو اللَّهُ بِشَيْءٍ فَيَضَعُهُ فِي كِفَّةِ مِيزَانِهِ، فَتَرْجَحُ حَسَنَاتُهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ، فَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, dari Abu Imran Al-Juni, dari Qais ibnu Yazid, dari Qadi Masriyyain, dari Abdur Rahman ibnu Abu Bakar yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Allah menyeru orang yang berutang kelak di hari kiamat hingga orang itu diberdirikan di hadapan-Nya. Lalu Allah berfirman, "Hai anak Adam, mengapa kamu mengambil utang ini, dan mengapa engkau sia-siakan hak-hak orang lain?” Maka ia menjawab, "Wahai Tuhanku. sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku telah mengambil utang itu dan aku tidak memakan dan meminum serta tidak menyia-nyiakannya, tetapi aku terkena kebakaran, dan adakalanya kecurian dan adakalanya kehilangan.” Maka Allah berfirman, "Benarlah apa yang dikatakan hamba-Ku, Aku lebih berhak untuk melunaskannya pada hari ini daripada kamu.” Kemudian Allah memerintahkan kepada sesuatu, lalu sesuatu itu diletakkan pada salah satu sisi neraca orang itu sehingga kebaikan-kebaikannya lebih berat ketimbang keburukan-keburukannya, akhirnya dia masuk surga berkat karunia dan rahmat Allah.

Adapun mengenai sabilillah, di antara mereka adalah orang-orang yang berperang tetapi tidak memperoleh hak (gaji/bayaran) dari pemerintah.

Menurut Imam Ahmad dan Al-Hasan ibnu Ishaq, melakukan ibadah haji termasuk sabilillah, karena berdasarkan hadis yang me-nas-kannya.

Ibnu Sabil ialah seorang musafir yang melewati suatu kota, sedang­kan ia tidak lagi mempunyai suatu bekal pun untuk melanjutkan perjalanannya. Maka ia diberi dari harta zakat sejumlah bekal yang cukup untuk memulangkannya, sekalipun di negerinya dia adalah orang yang berharta. Demikian pula hukumnya terhadap orang yang hendak melaku­kan suatu perjalanan dari negerinya, sedangkan ia tidak mempunyai bekal; maka ia dapat diberi dari harta zakat untuk bekal yang mencukupinya pulang pergi.

Dalil yang menyatakan hal ini adalah ayat di atas, dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yazar, dari Abu Sa'id r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا لِخَمْسَةٍ: الْعَامِلِ عَلَيْهَا، أَوْ رَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ، أَوْ غَارِمٍ، أَوْ غَازٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوْ مِسْكِينٍ تُصُدِّقَ عَلَيْهِ مِنْهَا فَأَهْدَى لِغَنِيٍّ"

Zakat tidak halal bagi orang yang berkecukupan kecuali lima macam orang, yaitu orang yang mengurusi zakat. atau seorang lelaki yang membelinya dari hartanya, atau orang yang berutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang diberi bagian dari harta zakat, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang kaya.

Kedua Sufyan telah meriwayatkannya dari Zaid ibnu Aslam. dari At
a secara mursal.

Menurut riwayat Imam Abu Daud dari Atiyyah Al-Aufi. dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:
"لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِيٍّ إِلَّا فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَابْنِ السَّبِيلِ، أَوْ جَارٍ فَقِيرٍ فيُهدي لَكَ أَوْ يَدْعُوكَ"

Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada jamuannya).

* * *
Firman Allah Swt.:
{فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ}

sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah. (At-Taubah: 60)

Yakni ketetapan yang telah dipastikan oleh Allah, Dialah yang memutuskan dan yang membagi-bagikannya.
{وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ}

dan A llah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 6 0)

Maksudnya, mengetahui lahiriah semua perkara, juga batiniahnya serta mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya:
{حَكِيمٌ}

lagi Mahabijaksana. (At-Taubah: 60)

dalam semua ucapan-Nya. perbuatan-Nya, semua hukum serta syariat-Nya. Tidak ada Tuhan seiain Dia, dan tidak ada Rabb kecuali Dia.

Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer

Pilantropi ada dua sararan :
Pilantropi untuk karitatif
Pilantropi untuk pemberdayaan

Khusus untuk filantropi Islam, lembaga-lembaga Filantropi Islam selama hampir tiga dekade terakhir, hadir untuk menjawab masalah kemiskinan. Namun demikian, hanya sedikit yang mencoba mengatasi masalah ini dari akarnya.

Diskursus mengenai peran filantropi Islam (kedermawanan dalam Islam) kian hari semakin menarik untuk dikaji. Lebih lagi, di saat krisis ekonomi global yang terus menghantui perekonomian nasional kita. Apalagi, stagnasi atau bahkan bertambahnya jumlah angka kemiskinan dari tahun ketahun menunjukkan ketidakmampuan negara mensejahterakan rakyatnya.

Lebih lagi, terpaan krisis ekonomi yang ditandai naiknya harga barang-barang kebutuhan pokok, dan tidak berimbangnya jumlah pendapatan dengan pengeluaran yang seharusnya, menjadikan masyarakat semakin sengsara dan terjepit. Akhirnya kadangkala tak peduli nyawa sebagai taruhannya, mereka tetap berjuang demi sesuap nasi hari ini. Pada kondisi seperti ini, seharusnya negaralah yang paling bertanggungjawab.

Namun kita memahami sepenuhnya dengan apa yang telah terjadi dengan kemampuan negara ini. Belum lagi kompleksitas persoalan yang mengitarinya. Pada intinya, negara telah gagal membawa warganya terbebas dari kemiskinan yang permanen. Di titik inilah, negara sangat membutuhkan ”aktor” lain yang bisa membantunya. Disinilah peran vital lembaga-lembaga filantropi Islam sangat dibutuhkan.

Beberapa pihak menilai bahwa krisis ekonomi Indonesia telah banyak menjadikan warganya ”kaum pengemis” di negeri sendiri. Tudingan ini dilatarbelakangi oleh semakin meningkatnya jumlah angka kemiskinan dan pengangguran sebagai akibat ketidakmampuan pemerintah dalam menangani negeri gemah ripah loh jinawi ini. Jeritan dan ratapan derita rakyat kecil tak pernah menyentuh hati nurani para pemimpin untuk terus memperbaiki nasib mereka. Belum lagi, spiral krisis kini semakin tak berujung dan belum ada titik terang untuk keluar darinya.

Keterpurukan ini dilengkapi lagi dengan keserakahan, dimana semakin banyak orang-orang yang mendapatkan harta dari cara-cara tak halal dan menghalalkan segala cara. Meluasnya tindak kejahatan korupsi tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkannya juga menambah krisis ini menjadi semakin kompleks. Dalam situasi inilah filantropi Islam, lagi-lagi bisa mengambil peran yang cukup signifikan.

Di Indonesia, praktek filantropi Islam telah berakar kuat dalam tradisi masyarakat Indonesia yakni dalam bentuk zakat, infaq, dan sedekah. Apalagi dengan situasi krisis moneter yang sampai kini masih terasa dan berbagai bencana alam yang datang silih berganti telah menggairahkan dunia filantropi di Indonesia. Aktifitas lembaga-lembaga sosial marak luar biasa, aliran bantuan uang dan barang pun tercatat mencapai triliunan rupiah. Khusus untuk filantropi Islam, lembaga-lembaga Filantropi Islam selama hampir tiga dekade terakhir, hadir untuk menjawab masalah kemiskinan. Namun demikian, hanya sedikit yang mencoba mengatasi masalah ini dari akarnya.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh CSRC UIN Jakarta, dana filantropi yang disumbangkan oleh masyarakat Muslim Indonesia mencapai angka 19,3 Trilyun/tahun. Namun, dana itu ternyata tidak mampu digunakan untuk mengentaskan kemiskinan. Alih-alih, justru menciptakan ketergantungan dan melestarikan kemiskinan itu sendiri. Bahkan asset wakaf yang bernilai 590 trilyun ternyata 80% hanya digunakan untuk masjid dan pekuburan.

Akar masalahnya ada dua. Pertama, pemahaman masyarakat terhadap filantropi islam masih tradisional dan berorientasi karitatif. Penelitian CSRC telah mengkonfirmasi bahwa 90% lebih dana zakat dan sedekah dberikan secara langsung kepada penerima (mustahik). Dimana sebagian besar diperuntukkan bagi tujuan-tujuan konsumtif dan berjangka pendek.

Kedua, lembaga filantropi yang ada (Lembaga Amil Zakat atau LAZ/Badan Amil Zakat atau BAZ) tidak bersinergi dengan baik dan kurang menekankan pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan. Kita bisa bayangkan jika seluruh lembaga filantropi di tanah air ini bersatu dan bersinergi dalam bentuk program pengumpulan dan penyaluran dengan menetapkan skala prioritas bersama. Sungguh akan prestisius dan menakjubkan dampak yang akan diterima masyarakat.

Praktek filantropi islam seperti ini, selain karena faktor sosio-ekonomi, dimana banyak masyarakat yang tidak mampu di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka, juga karena memiliki dasar dalam ajaran agama yang menekankan pentingnya memberi sumbangan kepada kerabat dekat terlebih dahulu. Hal ini mengakibatkan upaya mempromosikan lembaga-lembaga perantara seperti lembaga amil zakat permanen, belum mendapat  sambutan dan kepercayaan luas dari masyarakat.

Namun demikian, Dalam kurun waktu dua dekade belakangan ini, aktifitas Filantropi islam di Indonesia patut dibanggakan karena mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan ini ditandai dengan beberapa hal:

Pertama, meningkatnya antusiasme ummat dalam berfilantropi. Indikator utamanya adalah lahirnya sejumlah organisasi filantropi, bila dulu kita hanya mengenal Badan Amil Zakat, kini aktivitas itu menajdi terstruktur dalam banyak lembaga intermediari baru yang profesional. Misal Dompet Dhuafa (DD), Pos Keadilan peduli Umat (PKPU), Rumah Zakat, Tabung Wakaf, dan sebagainya.

Kedua, indikasi filantropisasi juga tampak jelas dalam meningkatnya kualitas dan kapasitas lembaga-lembaga yang mengelola dana ZIS. Dengan tenaga muda terampil dan terdidik sebagai pengelola dana ZIS, disertai dengan pemanfaatan teknologi maka dapat meningkatkan kemampuan penggalangan maupun distribusi dana kepada para penerima. Belum lagi, belakangan ini pula, filantropi Islam juga disokong oleh dana sosial perusahaan atau corporate social responsibility. Dimana perusahaan itu tidak hanya bertanggung jawab pada pemegang saham perusahaan saja atau shareholder tetapi juga bertanggungjawab juga pada masyarakat sekelilingnya melalui kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukannya.

Aktifitas filantropi ini secara perlahan namun pasti mulai menemui momentumnya untuk bergerak menuju filantropi yang berkeadilan sosial. Yang dimaksud dengan keadilan sosial disini adalah pemberian sumbangan kepada organisasi-organisasi non profit yang bekerja untuk melakukan perubahan-perubahan struktural meningkatkan peluang bagi semua orang, terutama bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, sosial dan politik (Brenda Hanzl dan John Hunsaker, Understanding Social Justice Philanthropy).

Ke depan, seluruh aktivitas filantropi Islam harus lebih diarahkan kepada pengarusutamaan filantropi untuk pemberdayaan komunitas yang integral dan berkelanjutan dalam rangka upaya pengentasan kemiskinan. Filantropi untuk karitas seyogyanya mulai dikurangi porsinya, walau sama sekali tidak bisa ditinggalkan. Hal ini disebabkan karena manfaat yang dihasilkannya jauh lebih besar dan berorientasi jangka panjang. Istilahnya Filantropi Islam harus memberikan kail dan bukan ikannya.

Sebagai modal dasar mencapai keadilan sosial, maka lembaga-lembaga filantropi harus memiliki citra dan positioning yang tepat dan dapat dipertangungjwabkan kredibilitasnya. Untuk itu diperlukan beberapa langkah sebagai berikut:

Pertama, perlunya membangun community Awareness  melalui berbagai media komunikasi dengan memberikan beberapa contoh best practice filantropy yang telah mengubah kehidupan seseorang atau kelompok masyarakat dari kondisi yang memprihatinkan kearah yang hidup lebih baik. Cara ini dipandang cukup efektif dalam mengugah dan menyadarkan masyarakat yang memiliki kemampuan untuk berderma.

Kedua, membangun citra lembaga melalui peningkatan sumber daya manusia dan pengelolaan dana yang dapat dipertanggunjawaban, transparan dan accountable serta dana filantropi berdaya guna bagi penerima manfaat (beneficiaries). Masyarakat yang sudah berderma akan merasa puas dan berkesan bahwa niat untuk membantu masyarakat yang kurang beruntung sudah tercapai.

Ketiga, membangun Konsistensi sebagai lembaga yang indenpenden, objektif dan netralitas serta profesional dalam menjalankan program-programnya. Biasanya si penderma atau masyarakat akan melihat lembaga konsistensi dalam menjalankan visi dan misi, lembaga dianggap opportunies akan ditingalkan.

Untuk merealisasikan seluruh agenda Filantropi untuk keadilan sosial di atas maka perlu diambil langkah-langkah strategis, diantaranya: Pertama, menyatukan dan memantapkan persepsi, visi, misi dan model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan di antara stakeholder filantropi seperti pengurus LAZ/BAZ dan CSR yang sudah memiliki kegiatan pemberdayaan.

Kedua, meningkatkan wawasan dan skill para pengurus LAZ/BAZ dan CSR dalam menjalankan program pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Ketiga, membangun kemitraan antara LAZ/BAZ dan CSR dalam rangka menjalankan program bersama pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan.

Keempat, mentransfer model pemberdayaan komunitas yang terintegrasi dan berkelanjutan kepada LAZ/BAZ dan CSR yang belum memiliki kegiatan pemberdayaan.

Jika beberapa point diatas dapat direalisasikan dengan baik, diyakini betul filantropi untuk keadilan sosial melalui pemberdayaan komunitas akan berjalan dengan baik dan menghasilkan manfaat yang berlipat ganda bagi masyarakat. Akhirnya kemiskinan dan keterpurukan akan mulai meninggalkan kita menuju kesejahteraan dan kemakmuran

Zakat sebagai instrumen pilantropi dalam Islam
I. PENDAHULUAN     

Awal momentum perkembangan filantropi Islam dimulai tahun 1990an, hingga saat ini pertumbuhan filantropi Islam (lembaga-lembaga amil zakat, infaq, sedekah dan wakaf) di Indonesia berkembang dengan sangat pesat. Di antara lembaga zakat yang cukup dominan menjadi rujukan masyarakat adalah masjid. Besarnya jumlah kaum muslim menjadikan Indonesia merupakan negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia yakni mencapai 800.000 masjid. Dengan demikian, potensi jumlah dana terhimpun pada masjid sangat besar.

1 Tetapi sangat disayangkan, dimana ada masjid justru disitulah potret kemiskinan terlihat dengan nyata. Misalnya saja, di Masjid Istiqlal yang konon merupakan masjid kebanggaan, tetapi disekitar masjid bertaburan pengemis. Maka dapat dikatakan, masjid “telah gagal” dalam melakukan pengelolaan zakat, khususnya dalam hal distribusi dana zakat.
 
Diperkirakan jumlah lembaga-lembaga yang didirikan sampai dengan tahun 2007 oleh masyarakat mencapai 500 lembaga baik yang bersifat insidental menjelang Ramadhan atau penanggulangan bencana maupun lembaga permanen yang mengelola dana zakat dan wakaf. Data tahun 2012 jumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang aktif dan terdaftar di Forum Zakat hanya sebanyak 33 lembaga, jumlah ini belum termasuk unit pengumpul zakat di perusahaan-perusahaan dan Badan Amil Zakat Daerah di seluruh propinsi di Indonesia.

2 Hasil survei Indonesian Zakat and Development Report 2012 terhadap 180 Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Riau, Sumatera Selatan, Banten, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan mencatat ada sekitar 22 (dua puluh dua) Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) atau 12 persen Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) belum memiliki visi dan misi. Situasi itu tidak terlepas dari pemahaman pendayagunaan zakat hanya sebatas menyalurkan saja. Alasan utama, prinsip pengelolaan zakat itu adalah amanah sehingga lembaga amil zakat menomorduakan adanya visi dan misi. Kondisi itu tentu perlu diperbaiki mengingat dalam pengelolaan zakat tidak
sebatas amanah saja, perlu ada rencana kerja, analisis terhadap sasaran dan evaluasi pencapaian berikut dengan perbaikan yang perlu dilakukan.

3 Perkembangan lembaga zakat dan wakaf perlu diarahkan menuju kesadaran keagamaan untuk menanggulangi masalah sosial secara temporer dan upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Saat ini, orientasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baru pada tahap konformisme, yaitu ketaatan akan perintah Tuhan dan kecintaan pada manusia karena ajaran agama. Karena itu, walaupun 500-an lembaga zakat telah berdiri di Indonesia, namun pengaruhnya pada pengembangan masyarakat belum terlihat secara signifikan. Faktor kepercayaan masyarakat dan kapasitas lembaga zakat menjadi permasalahan umum lembaga-lembaga zakat.

Reputasi sikap amanah dan profesionalitas merupakan modal utama bagi lembaga-lembaga zakat. Selain itu, idealnya pengembangan manajemen zakat diarahkan pada peningkatan kemampuan menghimpun sumber dana zakat, pengelolaan sumber dana zakat dan manajemen pendayagunaan zakat untuk pemberdayaan para asnaf dan mengangkat ummat dari kemiskinan dan keterbelakangan menuju ummat yang berdaya dan sejahtera. Gerakan zakat dituntut mengembangkan diri untuk mengeluarkan gagasan pengentasan kemiskinan yang selama ini menjadi fokus utama wacana zakat kontemporer. Gagasan pendayagunaan zakat diharapkan pula menjadi arus utama dalam strategi pengentasan kemiskinan diberbagai wilayah dunia. 

Potensi kekayaan alam Indonesia yang melimpah, potensi dana filantropi yang sangat besar dan keberadaan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang cukup banyak, ternyata belum mampu mensejahterakan masyarakat. Fakta yang terjadi adalah masih terjadinya ketimpangan kesejahteraan. Gerakan zakat masih bersifat sporadik dan konvensional. Kini, walaupun pemerintah telah memiliki peta kemiskinan per wilayah yang senantiasa diupdate  setiap tahunnya dan tersaji dalam laporan statistik, namun belum memiliki peta potensi dana filantropi yang dapat membantu pemerintah dan masyarakat dalam upaya untu mensejahterakan masyarakat dan pengentasan kemiskinan.

Potensi dana filantropi yang kategori zakat untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta sendiri diprediksi lebih dari 600 Miliar per-tahun. Potensi zakat profesi dari pegawai negeri sipil (PNS) Kota Yogyakarta yang beragama Islam dan sudah wajib zakat mencapai Rp 500 juta hingga Rp. 700 juta perbulan, dan tahun 2012 ditargetkan mencapai Rp. 3,5 miliar perbulan. Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA) Kota Yogyakarta pada 2011 telah menghimpun zakat dan infak sebesar Rp 2,9 miliar dari para pegawai di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta. Jumlah itu meningkat 25 persen
dibandingkan tahun sebelumnya. 

Saat ini, jumlah Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) yang tercatat di Kementrian Agama Provinsi Yogyakarta berjumlah 28 (dua puluh delapan) lembaga baik yang berupa BAZDA, LAZ maupun UPZ. Meski demikian belum ada data akurat mengenai
strategi fundraising, pengelolaan dan pendistribusian dana serta pola pengawasan dan transparansi sebagai sebuah kesatuan yang  sistematik dari masing-masing Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Data akurat tentang jumlah pasti lembaga zakat belum terekam secara baik, karena independensi pengelola zakat dan sistem regulasi mengenai gerakan filantropi belum tersedia dengan baik. Pendataan dan pemetaan lembaga zakat penting dilakukan untuk menyeleksi sekaligus memilah lembaga zakat sesuai dengan keunggulan dan kelemahan manajemen dana zakatnya. Dengan demikian masyarakat dapat memilih dengan cerdas lembaga mana yang sesuai dengan kualifikasi tujuan penyaluran dana zakatnya. Berdasar latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Potret Filantropi Islam di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”. Berhubung bahwa di Yogyakarta lembaga yang khusus mengelola wakaf jumlahnya terbatas, dan OPZ juga menerima untuk menjadi nadzir wakaf, maka dalam riset ini, filantropi lebih difokuskan pada OPZ di D.I. Yogyakarta. 

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana kinerja organisasi-organisasi filantropi Islam, khususnya OPZ di Daerah Istimewa Yogyakarta yang mencakup strategi fundraising, pengelolaan dan pendistribusian dana serta pola pengawasan dan transparansi sebagai sebuah kesatuan yang sistematik?Penelitian ini bertujuan untuk memotret kinerja organisasi-organisasi filantropi Islam, khususnya OPZ di Daerah Istimewa Yogyakarta, mencakup didalamnya yakni strategi fundraising, pengelolaan dan pendistribusian dana serta pola pengawasan dan transparansi sebagai sebuah kesa-
tuan yang sistematik.Penelitian ini dibatasi pada lembaga amil zakat, infak, dan sedekah di Propinsi DI Yogyakarta yang dipilih berdasarkan data Kementrian Agama RI tahun 2008.

A. Filantropi Islam     

Secara etimologis, makna filantropi (philanthropy) adalah kedermawanan, kemu-
rahatian, atau sumbangan sosial; sesuatu yang menunjukkan cinta kepada manusia.

Istilah ini berasal dari bahasa Yunani,  yaitu philos (cinta) dan anthropos (manusia), yang secara harfiah bermakna sebagai konseptualisasi dari praktik memberi (giving), pelayanan (service) dan asosiasi (association) dengan sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.

Islam sebagai agama yang syāmil dan kāmil serta rahmatan lil’alamin menampilkan dirinya sebagai agama yang berwajah filantropis.Wujud filantropi ini digali dari doktrin keagamaan yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits yang dimodifikasi dengan perantara mekanisme ijtihad sehingga institusi zakat, infak, sedekah, dan wakaf muncul. Tujuannya adalah supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Filantropi Islam juga dapat diartikan sebagai pemberian karitas (charity) yang didasarkan pada pandangan untuk mempromosikan keadilan sosial dan maslahat bagi masyarakat umum.

Namun, jika karitas lebih dekat pada ajaran keagamaan sehingga prakteknya lebih bersifat individual dan menyangkut pahala dan dosa, maka dalam filantropi cakupannya lebih luas karena lebih dekat dengan filsafat moral yang dalam praktiknya bersifat sosial. Selain itu, sistem karitas juga lebih menjamin kebebasan dan hanya dapat berlaku pada sistem masyarakat kapitalis, yang liberal, di mana masyarakat dapat menghargai individu dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Selain itu, orang mendapatkan kebebasan untuk memupuk harta kekayaan, karena hanya dengan menjadi
kaya, orang dapat melaksanakan karitas, yang pada akhirnya dengan karitas, orang dapat masuk surga(Raharjo, 2003).

Dasar utama filantropi Islam bersumber dari al-Qur’an, Surat al-Ma’ûn: 1-7, dimana salah satu dari tanda orang yang mendustakan agama adalah tidak menyantuni anak yatim. Itu artinya ada konsep sosial keagamaan yang kemudian memunculkan doktrin zakat (tazkiyah) yang mengalami dua tahap yaitu, tahap makkiyah (theologis) yang merupakan tahap pembersihan diri, dan tahap madaniyah yaitu tahap pembersihan harta dengan memberikannya kepada delapan  ashnâf seperti yang terdapat dalam Q.S. At-Taubah: 60. Pada posisi inilah karitas dapat dipahami sebagai filantropi, sebab
seperti kita ketahui bahwa pada dasarnya filantropi Islam sangat kental dengan sifatnya yang individual karena kaitannya dengan ibadah.

Selain itu, dasar filantropi dalam al-Qur’an juga terdapat dalam enam surat pertama yang diturunkan di Makkah, yaitu
Q.S. AL-Lahab: 2-3, Q.S. al-Humazah: 1-3, Q.S. al-Maûn: 1-3, Q.S. al-Takâtsur: 1-2, Q.S. al-Layl: 5-11, dan Q.S. al-Balad: 10-16. Ini menunjukkah bahwa wahyu yang turun di awal-awal masa kenabian membawa visi sosial al-Qur’an untuk menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Tidak hanya itu, ayat-ayat yang diturunkan di Madinah pun masih banyak yang menekankan tentang pentingnya menerapkan filantropi, diantaranya QS. Al-Taubah: 34 dan 71, Q.S. Al-Baqarah: 2-3 dan 272, Q.S. dan Ali-Imran: 180.

Karena itu, jika dilihat berdasarkan sifatnya, dikenal dua bentuk filantropi, yaitu filantropi tradisional dan filantropi untuk keadilan sosial. Filantropi tradisional adalah filantropi yang berbasis karitas. Praktek filantropi tradisional berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial, misalkan pemberian langsung para dermawan untuk
kalangan miskin dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, kelemahannya adalah tidak bisa mengembangkan taraf kehidupan masyarakat miskin atau dalam istilah sehari-hari hanya memberi ikan tapi tidak memberi pancing (kail).

Berbeda dengan bentuk filantropi untuk keadilan sosial (social justice philanthropy), bentuk filantropi seperti ini dapat menjembatani jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Jembatan tersebut diwujudkan dengan upaya memobilisasi sumber daya untuk mendukung kegiatan yang menggugat ketidakadilan struktur yang menjadi penyebab langgengnya kemiskinan. Dengan kata lain, filantropi jenis ini adalah mencari akar permasalahan dari kemiskinan tersebut yakni adanya faktor ketidakadilan dalam alokasi sumber daya dan akses kekuasaan dalam masyarakat. Diantara lembaga filantropi yang menarapkan metode tersebut diantaranya adalah Yayasan Dompet Dhu’afa dan Pos Keadilan Peduli
Umat (PKPU).

Sebenarnya ada dua konsep filantropi: (1) kesukarelaan yang tidak bisa dituntut apa-apa dari pihak pemberi, (2) filantropi adalah cerita tentang hak, tentang peralihan sumber daya dari yang lebih kaya kepada mereka yang lebih miskin. Jadi diberi atau tidak, filantropi adalah hak kaum miskin. George Soros, misalnya, dia dikenal sebagai
filantropi yang baik. Namun sebenarnya dia menyembunyikan wajah buruknya dalam aktivitas filantropi. Apa yang dia lakukan hanyalah memberikan secuil keuntungan bisnis yang dia peroleh. Kemudian dia menutupi pertualangan keuangannya melalui filantropi, walaupun filantropi sendiri kenyataannya belum tentu bisa memenuhi pemenuhan hak itu sendiri. Di sinilah letak penyelewengan filantropi dari konsep dasarnya, yaitu berderma tanpa berharap imbalan.

Tentang distribusi zakat, Al Qur’an secara khusus mengatur dalam Surat At Taubah:60, yaitu bahwa zakat hanya dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya yakni  terdiri dari 8 golongan (asnaf), yang meliputi: orang-orang fakir, miskin, pengurus/ pengumpul zakat (Amil), para mu’allaf (orang yang baru memeluk Islam),  Riqab (hamba sahaya),  Gharimin  (orang berhutang/bangkrut),  Fi sabilillah  (orang berjuang di jalan Allah) dan  Ibnu sabil (orang sedang dalam perjalanan). 

Kedelapan asnaf tersebut adalah orang yang  berhak menerima bantuan zakat. Dalam melakukan pembagian zakat, lembaga pengelola  zakat tidak  harus mendistribusikan kepada delapan (8)  asnaf  tersebut secara merata, karena antara satu
daerah dengan daerah yang lain tidak semuanya menghadapi persoalan yang sama sehingga bisa saja terjadi bahwa di suatu daerah tertentu zakat  dibagikan kepada lima bagian atau malah kurang dari lima bagian, tergantung dari banyak sedikitnya golongan yang berhak menerima zakat di daerah tersebut. 

B. Lembaga Pengelola Filantropi Islam     

Sebagaimana dijelaskan dalam batasan penelitian, bahwa yang menjadi fokus dalam riset ini adalah potert filantropi yang difokuskan pada ZIS. Dengan demikian, lembaga pengelola filantropi yang dimaksudkan adalah lebih tertuju kepada lembaga pengelola ZIS. Semua kebijakan tentang institusionalisasi zakat secara garis besar, semula terangkum dalam Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2000 Tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat.

Namun UU No. 38 Tahun 1999 kemudian diganti dengan UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Latar belakang penggantian ini adalah bahwa Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat dinilai sudah tidak
sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti. Pengelolaan zakat yang diatur dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2011 meliputi kegiatan perencanaan, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan.

Dalam peraturan perundang-undangan Nomor 38 Tahun 1999, diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu :

1)  Badan amil zakat (BAZ) yaitu organisasi pengelola zakat yang dibentuk oleh
pemerintah, dan
2)  Lembaga amil zakat (LAZ), yaitu organisasi pengelola zakat yang sepenuhnya
dibentuk oleh masyarakat, dan dikukuhkan oleh Pemerintah. 

Namun dalam UU No. 23 Tahun 2011, terdapat perbedaan struktur institusi.
Dalam upaya mencapai tujuan pengelolaan zakat, dibentuk Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang berkedudukan di ibu kota negara, BAZNAS provinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota. BAZNAS merupakan lembaga pemerintah nonstruktural yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri. BAZNAS merupakan lembaga yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat secara nasional. Untuk membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat, masyarakat dapat membentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ).

Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri. LAZ wajib melaporkan secara berkala kepada BAZNAS atas pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat yang telah diaudit syariat dan keuangan. Dengan demikian, posisi LAZ tidak setara lagi dengan BAZ. Selain menerima zakat, BAZNAS atau LAZ juga dapat menerima infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya. Pendistribusian dan pendayagunaan infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan dilakukan sesuai dengan peruntukan yang diikrarkan oleh pemberi dan harus dilakukan pencatatan dalam pembukuan tersendiri. Secara umum, pengelolaan zakat dapat dikagorikan menjadi tiga unsur pokok, yaitu penghimpunan dana zakat, pendistribusian dana zakat dan pengelolaan organisasi atau OPZ.

Nur Kholis: Potret Filantropi Islam Volume IV, No. 1, Juli 2010 

Kesimpulan

Daftar pustaka
Read More »

Ayat Ekonomi tentang Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi QS. an-Nisa' (4) : 58 dan Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer

Ayat Ekonomi tentang Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi
(Penguasa dan amanah)
QS. an-Nisa' (4) : 58

 
Terjemah
58.  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Tafsir Ayat


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَماناتِ إِلى أَهْلِها وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً (58)

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia memerintahkan agar amanat-amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya.

Di dalam hadis Al-Hasan, dari Samurah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

"أَدِّ الْأَمَانَةِ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ"

Sampaikanlah amanat itu kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah kamu berkhianat terhadap orang yang berkhianat kepadamu.

Hadis riwayat Imam Ahmad dan semua pemilik kitab sunan. Makna hadis ini umum mencakup semua jenis amanat yang diharuskan bagi manusia menyampaikannya.

Amanat tersebut antara lain yang menyangkut hak-hak Allah Swt. atas hamba-hamba-Nya, seperti salat, zakat, puasa, kifarat, semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal yang dipercayakan kepada seseorang dan tiada seorang hamba pun yang melihatnya. Juga termasuk pula hak-hak yang menyangkut hamba-hamba Allah sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, seperti semua titipan dan lain-lainnya yang merupakan subjek titipan tanpa ada bukti yang menunjukkan ke arah itu. Maka Allah Swt. memerintahkan agar hal tersebut ditunaikan kepada yang berhak menerimanya. Barang siapa yang tidak melakukan hal tersebut di dunia, maka ia akan dituntut nanti di hari kiamat dan dihukum karenanya. 

Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَتُؤَدَّنَّ الْحُقُوقُ إِلَى أَهْلِهَا، حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ"

Sesungguhnya semua hak itu benar-benar akan disampaikan kepada pemiliknya. hingga kambing yang tidak bertanduk diperintahkan membalas terhadap kambing yang bertanduk (yang dahulu di dunia pernah menyeruduknya).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya syahadat itu menghapus semua dosa kecuali amanat." Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa di hari kiamat kelak seseorang diajukan (ke hadapan peradilan Allah). Jika lelaki itu gugur di jalan Allah, dikatakan kepadanya, "Tunaikanlah amanatmu." 

Maka lelaki itu menjawab, "Bagaimana aku akan menunaikannya, sedangkan dunia telah tiada?" Maka amanat menyerupakan dirinya dalam bentuk sesuatu yang terpadat di dalam dasar neraka Jahannam. Maka lelaki itu turun ke dasar neraka, lalu memikulnya di atas pundaknya. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa setiap kali ia mengangkat amanat itu, maka amanat itu terjatuh dari pundaknya, lalu ia pun ikut terjatuh ke dasar neraka; begitulah selama-lamanya. Zazan mengatakan bahwa lalu ia datang menemui Al-Barra ibnu Azib dan menceritakan hal tersebut kepada Al-Barra. Maka Al-Barra mengatakan, "Benarlah apa yang dikatakan oleh saudaraku." Lalu ia membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa amanat ini bermakna umum dan wajib ditunaikan terhadap semua orang, baik yang bertakwa maupun yang durhaka.

Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini umum pengertiannya menyangkut bagi orang yang berbakti dan orang yang durhaka.

Abul Aliyah mengatakan bahwa amanat itu ialah semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dilarang mereka mengerjakannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Al-A'masy, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah mengatakan, "Termasuk ke dalam pengertian amanat ialah memelihara farji bagi seorang wanita."

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa wanita termasuk amanat yang menyangkut antara kamu dan orang lain.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Termasuk ke dalam pengertian amanat ini ialah nasihat sultan kepada kaum wanita, yakni pada hari raya.

Kebanyakan Mufassirin menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah. Nama Abu Talhah ialah Abdullah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar ibnu Qusai ibnu Kitab Al-Qurasyi Al-Abdari, pengurus Ka'bah. Dia adalah saudara sepupu Syaibah ibnu Usman ibnu Abu Talhah yang berpindah kepadanya tugas pengurusan Ka'bah hingga turun-temurun ke anak cucunya sampai sekarang.

Usman yang ini masuk Islam dalam masa perjanjian gencatan senjata antara Perjanjian Hudaibiyah dan terbukanya kota Mekah. Saat itu ia masuk Islam bersama Khalid ibnul Walid dan Amr ibnul As. Pamannya bernama Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah, ia memegang panji pasukan kaum musyrik dalam Perang Uhud, dan terbunuh dalam peperangan itu dalam keadaan kafir.

Sesungguhnya kami sebutkan nasab ini tiada lain karena kebanyakan Mufassirin kebingungan dengan nama ini dan nama itu (yakni antara Usman ibnu Abu Talhah pengurus Ka'bah dan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah yang mati kafir dalam Perang Uhud).

Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Usman tersebut ialah ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah dari tangannya pada hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian Rasulullah Saw. mengembalikan kunci itu kepadanya (setelah ayat ini diturunkan).

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan perang kemenangan atas kota Mekah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ketika Rasulullah Saw. turun di Mekah, semua orang tenang. Maka beliau Saw. keluar hingga sampai di Baitullah, lalu melakukan tawaf di sekelilingnya sebanyak tujuh kali dengan berkendaraan, dan beliau mengusap rukun Hajar Aswad dengan tongkat yang berada di tangannya.

Seusai tawaf, beliau memanggil Usman ibnu Talhah, lalu mengambil kunci pintu Ka'bah darinya. Kemudian pintu Ka'bah dibukakan untuk Nabi Saw., lalu Nabi Saw. masuk ke dalamnya. Ketika berada di dalam beliau melihat patung burung merpati yang terbuat dari kayu, maka beliau mematahkan patung itu dengan tangannya, lalu membuangnya. Setelah itu beliau berhenti di pintu Ka'bah, sedangkan semua orang dalam keadaan tenang dan diam dengan penuh hormat kepada Nabi Saw.; semuanya berada di masjid.

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa salah seorang Ahlul Ilmi telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw. bersabda ketika berdiri di depan pintu Ka'bah:

«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، أَلَا كُلُّ مَأْثُرَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ مَالٍ يُدْعَى فَهُوَ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، إِلَّا سِدَانَةَ الْبَيْتِ وَسِقَايَةَ الْحَاجِّ»

Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia telah menunaikan janji-Nya kepada hamba-Nya, dan telah menolong hamba-Nya dan telah mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian. Ingatlah, semua dendam atau darah atau harta yang didakwakan berada di bawah kedua telapak kakiku ini, kecuali jabatan Sadanatul Ka'bah (pengurus Ka'bah) dan Siqayalut Haj (pemberi minum jamaah haji).

Ibnu Ishaq melanjutkan kisah hadis sehubungan dengan khotbah Nabi Saw. pada hari itu, hingga ia mengatakan bahwa setelah itu Rasulullah Saw. duduk di masjid. Maka menghadaplah kepadanya Ali ibnu Abu Talib seraya membawa kunci pintu Ka'bah. Lalu Ali berkata, "Wahai Rasulullah, serahkan sajalah tugas ini kepada kami bersama jabatan siqayah, semoga Allah melimpahkan salawat kepadamu."

Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Di manakah Usman ibnu Talhah?" Lalu Usman dipanggil. Setelah ia menghadap, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:

"هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمُ يَوْمُ وَفَاءٍ وَبِرٍّ"

Inilah kuncimu, hai Usman, hari ini adalah hari penyampaian amanat dan kebajikan.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah. 

Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah darinya, lalu beliau masuk ke dalam Ka'bah; hal ini terjadi pada hari kemenangan atas kota Mekah. Setelah itu beliau Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membacakan ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat. Lalu Rasulullah Saw. memangggil Usman dan menyerahkan kepadanya kunci tersebut.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Semoga Allah menjadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan beliau. Aku tidak pernah mendengar beliau membaca ayat ini sebelumnya."

Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Az-Zunji-ibnu Khalid, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Nabi Saw. menyerahkan kunci pintu Ka'bah kepada Usman seraya berkata, "Bantulah dia oleh kalian (dalam menjalankan tugasnya sebagai hijabatul bait)."

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, beliau memanggil Usman ibnu Talhah. Setelah Usman menghadap, beliau bersabda, "Berikanlah kunci itu kepadaku." Lalu Usman ibnu Talhah mengambil kunci itu untuk diserahkan kepada Nabi Saw. Ketika ia mengulurkan tangannya kepada Nabi Saw., maka Al-Abbas datang menghampirinya dan berkata, "Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, berikanlah jabatan sadanah ini bersama jabatan siqayah kepadaku." Maka Usman menarik kembali tangannya, dan Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Usman, serahkanlah kunci itu kepadaku." Maka Usman mengulurkan tangannya untuk menyerahkan kunci. Tetapi Al-Abbas mengucapkan kata-katanya yang tadi, dan Usman kembali menarik tangannya. 

Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Hai Usman, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, serahkanlah kunci itu." Maka Usman berkata, "Terimalah dengan amanat dari Allah." Rasulullah Saw. berdiri dan membuka pintu Ka'bah, dan di dalamnya beliau menjumpai patung Nabi Ibrahim a.s. sedang memegang piala yang biasa dipakai untuk mengundi. 

Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«مَا لِلْمُشْرِكِينَ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، وَمَا شَأْنُ إِبْرَاهِيمَ وَشَأْنُ الْقِدَاحِ»

Apakah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini, semoga Allah melaknat mereka, dan apakah kaitannya antara Nabi Ibrahim dengan piala ini?

Kemudian Nabi Saw. meminta sebuah panci besar yang berisikan air, lalu beliau mengambil air itu dan memasukkan piala itu ke dalamnya berikut patung tersebut. Lalu beliau mengeluarkan maqam Ibrahim dari dalam Ka'bah, kemudian menempelkannya pada dinding Ka'bah. Pada mulanya maqam Ibrahim ditaruh di dalam Ka'bah. Setelah itu beliau bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذِهِ الْقِبْلَةُ»

Hai manusia, inilah kiblat!

Selanjutnya Rasulullah Saw. keluar, lalu melakukan tawaf di Ka'bah sekali atau dua kali keliling. Menurut apa yang disebutkan oleh pemilik kitab Bardul Miftah, setelah itu turunlah Malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.

Demikian menurut riwayat yang terkenal, yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Pada garis besarnya tidak memandang apakah ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, makna ayat adalah umum. Karena itulah Ibnu Abbas dan Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini menyangkut orang yang berbakti dan orang yang durhaka. 

Dengan kata lain, bersifat umum merupakan perintah terhadap semua orang.

* * *
Firman Allah Swt.:

وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. (An-Nisa: 58)

Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Karena itulah maka Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa ayat ini diturunkan hanya berkenaan dengan para umara, yakni para penguasa yang memutuskan perkara di antara manusia. Di dalam sebuah hadis disebutkan:

"إِنِ اللَّهَ مَعَ الْحَاكِمِ مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا جَارَ وَكَلَهُ إِلَى نَفْسِهِ"

Sesungguhnya Allah selalu bersama hakim selagi ia tidak aniaya; apabila ia berbuat aniaya dalam keputusannya, maka Allah menyerahkan dia kepada dirinya sendiri (yakni menjauh darinya).

Di dalam sebuah atsar disebutkan:

«عَدْلُ يَوْمٍ كَعِبَادَةِ أَرْبَعِينَ سَنَةً»

Berbuat adil selama sehari lebih baik daripada melakukan ibadah empat puluh tahun.

* * *
Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. (An-Nisa: 58)

Allah memerintahkan kepada kalian untuk menyampaikan amanat-amanat tersebut dan memutuskan hukum dengan adil di antara manusia serta lain-lainnya yang termasuk perintah-perintah-Nya dan syariat-syariat-Nya yang sempurna lagi agung dan mencakup semuanya.

* *
Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58)

Maha mendengar semua ucapan kalian lagi Maha Melihat semua perbuatan kalian.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُقْرِئُ هَذِهِ الْآيَةَ {سَمِيعًا بَصِيرًا} يَقُولُ: بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw. sedang membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58)
Lalu beliau Saw. bersabda: Maha Melihat segala sesuatu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Al-Muqri (yakni Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Yazid), telah menceritakan kepada kami Harmalah (yakni Ibnu Imran), bahwa At-Tajibi Al-Masri pernah menceritakan bahwa dia mendengar hadis ini dari Yunus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah membaca firman-Nya:  

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58) Abu Hurairah meletakkan jari jempolnya pada telinganya, sedangkan jari yang berikutnya ia letakkan pada matanya, lalu ia berkata bahwa demikianlah yang pernah ia lihat dari Rasulullah Saw. ketika membaca ayat ini, lalu beliau Saw. meletakkan kedua jarinya pada kedua anggota tersebut (telinga dan mata). Abu Zakaria mengatakan bahwa Al-Muqri memperagakannya kepada kami. Kemudian Abu Zakaria meletakkan jari jempolnya yang kanan pada mata kanannya dan jari berikutnya pada telinga kanannya. Lalu ia mengatakan, "Al-Muqri memperagakan seperti ini kepada kami."

Imam Abu Daud, Imam Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsimya telah meriwayatkan melalui hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.

Abu Yunus yang disebutkan di dalam sanad hadis ini adalah maula Abu Hurairah r.a., nama aslinya adalah Sulaim ibnu Jubair.

Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
 
 Kekuasaan dan amanah
 
  Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan. (Nasehat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pada Abu Dzar)

Amanah Kekuasaan Amanat Para Ulama Nasehat Tentang Kekuasaan

Pemimpin haruslah amanat. Namun sifat amanat ini sangat kurang untuk saat ini, bahkan walau kepalanya dibaluti sorban atau jidatnya nampak bekas shalat. Sungguh, musibah di akhir zaman. Perhatikan nasehat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Dzar berikut ini.

Abu Dzarr berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu adalah orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).

Dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).

Imam Nawawi membawakan dua hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang mendesak untuk itu.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak layak kepemimpinan atau kekuasaan diberikan pada orang yang lemah yang tidak punya kapabilitas, bukan ahli di dalamnya. Namun boleh menerima kekuasaan jika diberikan oleh khalifah atau oleh majelis yang bertugas untuk menunjuk penguasa yang capable.

Point penting yang patut dicatat bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanat yang berat dan berbahaya. Siapa yang diberi amanat seperti ini hendaklah ia benar-benar menjalankannya dan jangan bersifat khianat. Jika ia menjalaninya dengan benar dan punya kapabilitas di dalamnya, maka ia akan mendapatkan keutamaan yang besar berupa naungan Allah pada hari kiamat kelak.

Hanya Allah yang memberi taufik.


Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 663-664.

By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.
 
Kekuasaan dan keadilan

PENDAHULUAN

Pengertian Kekuasaan

Dari sudut etimologi, kekuasaan secara sederhana dan umum diartikan sebagai “kemampuan berbuat dan bertindak” (power is an abnility to do or act). Secara terminologi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan yang terdapat didalam hubungan antar manusia (sosial) sebagai wadah penerapan kekuasaan. Kekuasaan  oleh Miriam Budiardjo, yaitu kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempuanyai kekuasaan itu. 1

Secara umum ada dua bentuk kekuasaan:

1. Pertama kekuasaan pribadi, kekuasaan yang didapat dari para pengikut dan didasarkan pada seberapa besar pengikut mengagumi, respek dan terikat pada pemimpin.
2. Kedua kekuasaan posisi, kekuasaan yang didapat dari wewenang formal organisasi.

Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh pada orang lain artinya kemampuan untuk mengubah sikap atau tingkah laku individu atau kelompok. Kekuasaan juga berarti kemampuan untuk mempengaruhi individu, kelompok, keputusan, atau kejadian. Kekuasaan tidak sama dengan wewenang, wewenang tanpa kekuasaan atau kekuasaan tanpa wewenang akan menyebabkan konflik dalam organisasi. Kekuasaan berkaitan erat dengan pengaruh (influence) yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau tingkah laku orang lain atau kelompok.

Kekuasaan, menurut pakar sosiologi – politik, berasal dari lima sumber, yaitu:
a) Kekuatan (kekerasan) fisik
b) Kedudukan atau jabatan
c) Kekayaan
d) Kepercayaan atau keyakinan
e) Ketrampilan dan keahlian.

2. Pengertian Keadilan

Kata keadilan dalam bahasa Inggris adalah justice yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu

(1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness),
(2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan
(3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).

Sedangkan kata adil dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.3 Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).

Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan

PEMBAHASAN

1. Teori Kekuasaan Machiavelli

1.1. Situasi Sosial Politik

Machiavelli lahir di masa zaman Renaissanse. Istilah zaman Renaissance dalam konteks sejarah Barat diartikan sebagai kebangkitan kembali minat yang sangat besar terhadap warisan Yunani dan Romawi kuno dalam berbagai aspek. Bagi para sejarawan, renaissance dianggap sebagai starting point perkembangan peradaban eropa, hal ini dikarenakan

Pertama, pencapaian keberhasilan manusia renaissance di berbagai bidang.
Kedua, kebangkitan kembali minat terhadap warisan Yunani dan Romawi kuno.
Ketiga, terjadinya perubahan terhadap pola fikir manusia dari teosintrik menjadi antroposentrik.
Keempat, terjadinya perlawanan terhadap otoritas gereja yang melahirkan kebebasan intelektual dan agama.
Kelima, memunculkan wawasan baru mengenai relasi negara, agama dan moralitas.

Dapat dikatakan zaman renaissance merupakan jaman peralihan antara zaman kegelapan (Dark Ages) abad pertengahan ke zaman pencerahan (Enlightenment Age).

Adapun yang melatar belakangi dinamika perubahan zaman dimasa itu adalah Pertama, terjadinya perkembangan kapitalisme dan merkantilisme melalui kontak perdagangan antara peradaban timur dan barat hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat dari masyarakat agraris berorientasi desa menuju masyarakat berorientasi kota, sehingga memunculkan kota-kota baru. Kedua, perang salip yang berlangsung abad X dan XII jusru memberikan dampak positif bagi dunia barat. Karena perang ini terjadilah kontak perdagangan antara dunia barat (kristen) dengan dunia timur (islam), dari hubungan inilah terjadi tranmisi peradaban, dimana kegemilangan peradaban islam menular ke eropa, khususnya Itali.

Ketiga, pertikaian antara agama kristen dengan ilmu pengetahuan. dimasa itu terjadi perlawanan kaum cendikiawan melawan dogma-dogma gereja dimana hasil temuan dari para cendikiawan dianggap sebagai penyimpangan terhadap doktrin gereja. Hal ini justru menimbulkan konflik diantara keduanya. Penyebabnya, karena gereja dalam menangani konflik dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman, hal ini menimbulkan benih-benih perlawanan dan semakin berkembangnya humanisme di Italia mengakibatkan terjadilah perubahan yang menganggap manusia sebagai pusat dunia.

Abad pertengahan yang mengsakralkan cosmos berubah dan mengesahkan terjadinya persaingan kekuaasaan, manusia saat itu menjadi sangat agresif, mencari dan mengejar apa yg belum dimiliki dan menjaga semampu mungkin apa yg telah di dapat. Setting sosial politik saat itu sangat chaos, khususnya dalam hal perebutan kotoritas kekuasaan.

1.2 Kekuasaan Menurut Machiavelli

Kekuasaan menurut Machiavelli bersandar pada pengalaman manusia. Kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari nilai moral. Karena menurutnya, kekuasaan bukanlah alat untuk mengabdi pada kebajikan, keadilan dan kebebasan dari tuhan, melainkan kekuasaan sebagai alat untuk mengapdi pada kepentingan negara. Dalam pemikiran Machiavelli kekuasaan memiliki tujuan menyelamatkan kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaan.

Hal ini dapat dilihat dalam karyanya The Prince, dimana kekuasaan seharusnya merujuk pada kepentingan kekuasaan itu sendiri, tidak lain untuk mewujudkan kekuasaan yang  kuat.Ia menyarankan penguasa, sebagai pemilik kekuasaan seharusnya mampu mengejar kepentingan Negara, demi kejayaan dan kebesarannya. Penguasa harus mampu menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman yang mungkin terjadi, untuk itu penguasa harus prioritaskan stabilitas negara dan selalu dalam kondisi siaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan musuh. Untuk itu penguasa haruslah memperkuat basis pertahanan dan keamanan negara serta kedaulatan dan kesatuan negara harus diprioritaskan.

Dalam konteks ini, menurut Machiavelli, hukum memiliki peranan sebagai penengah untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa negara. Namum hukum tidak akan berjalan tampa adanya intervensi dukungan penguasa. Peranan hukum yang besar dalam upaya tercibtanya stabilitas kekuasaan akan lebih baik bilamana didukung oleh kekuatan militer.

Kekuasaan menurut Machiavelli merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan negara. Kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan militer, juga merupakan merupakan dasar negara yang utama, bahkan melampaui hukum. Oleh karena itu, ajaran Machiavelli dinamakan ajaran tentang “Kepentingan Negara” (staatraison). Jadi, negara adalah tujuan akhir dari kekuasaan. Bahkan demi tujuan akhir tersebut, Machiavelli mengabaikan tujuan-tujuan lainnya, seperti keadilan, kebebasan, dan kebaikan bagi warga negara.

Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan etika kekuasaan di negara demokrasi dimana rakyat adalah tema sentral dari kekuasaan. Namun ada unsur pemikiran Machiavelli yang masih relevan dengan konteks negara demokrasi, yaitu, dalam hal bagaimana meraih kekuasaan. Seseorang dapat meraih kekuasaan, menurut Machiavelli apabila dalam dirinya terdapat dua hal, yaitu, keberuntungan (fortuna) dan kecerdikan (virtu).

Keberuntungan menentukan separuh dari dapat diraihnya kekuasaan, separuh lainnya, atau hampir sebanyak itu, ditentukan oleh kecerdikan individu tersebut. Digambarkan olehnya bahwa manusia harus mempersiapkan diri dengan virtunya agar ketika “banjir” keberuntungan itu datang, dia telah siap untuk menghadapinya dan menggunakan keberuntungan tersebut sebaik-baiknya demi meraih kekuasaan.

Ada kecenderungan bahwa orang yang kekuasaannya lebih didasarkan pada kecerdikan, lebih kuat kedudukannya. Semakin orang tidak mengandalkan keberuntungan, akan semakin kuat kedudukannya. Sebaliknya, orang yang meraih kekuasaan lebih karena keberuntungan sehingga didapatkannya tanpa usaha keras, akan mengalami kesulitan besar dalam usahanya mempertahankan kekuasaan.

Dalam era demokrasi pun banyak unsur pemikiran Machiavelli tentang mempertahankan kekuasaan yang layak untuk dipakai, namun tentunya dengan penyesuaian berupa penghalusan cara-cara tindakan. Misalnya, pemikirannya tentang seorang penguasa harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang, dan bahwa menggunakan salah satu tanpa yang lainnya tidak akan dapat bertahan. Kedua sifat ini memang harus dimiliki penguasa. Dalam hal sifat binatang, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa harus menjadi rubah agar mengenal perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala. Jelas sifat ini perlu dimiliki penguasa sebab dalam politik di era demokrasi ini terdapat banyak perangkap-perangkap dan ancamanancaman dari lawan-lawan politik. Sifat binatang ini hanya dipakai apabila terdapat ancaman bagi kelangsungan kekuasaan, diluar kondisi itu, penguasa sepatutnya kembali bersifat manusia. Untuk menghindari datangnya perangkap dan ancaman, dapat diantisipasi dengan beberapa cara, misalnya, tidak menambah kekuasaan seseorang (bawahan) yang sudah kuat, tidak memasukkan orang yang terlalu kuat ke dalam jajaran kabinet, kalau seandainya ada seseorang yang menjadi terlalu kuat di dalam kabinet sehingga berpotensi melampaui kekuasaannya, sebaiknya diberhentikan.

Pemikiran Machiavelli lainnya yang masih layak dipakai dalam praktek negara demokrasi adalah berupa nasehat-nasehat. Tentang hubungannya dengan militer, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa ideal ialah seorang penguasa yang harus sanggup menjadi panglima militer yang cakap dan trampil serta yang benar-benar dapat mengendalikan angkatan perang dengan baik. Penguasa dalam negara demokrasi adalah juga seorang panglima tertinggi dalam angkatan perang, maka penguasa harus bisa menunjukkan perannya danbisa mengendalikan militer sebaik-baiknya. Selain itu, penguasa yang kuat adalah mereka yang mempunyai pasukan yang besar atau bisa menghimpun angkatan perang yang mampu menghadapi setiap ancaman kedaulatan negara.

2. Teori Keadilan

2.1 Teori Keadilan Aristoteles

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.

Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteless menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.

Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.

Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.

2.2  Teori Keadilan Sosial John Rawlss

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial. Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu.
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.

Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill.

Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum.
Fariz Pradipta Lawz, Sistem Hukum Administrasi Negara dalam Konsep Welfare State. Makalah.
John Rawls, 2006. A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Kilcullen, R. J. “Tape 11: Rawls, A Theory of Justice (Draft)”.http://www.humanities.mq.edu.au/ Ockham/y6411.html. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
Machiavelli. Diskussus, dalam terjemahan “The Discourses”, The Modern Library, New York, 1950, Bab XIIdan Bab XVII.
Rapar, J.H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristotales, Agustinus, Machiavelli. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
The Philosophy Club. “Rawls’s Theory of Justice”. http://www.sydgram.nsw.edu.au/ College_Street/extension/philosophy/rawls.htm. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
Wahid, Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, http://www.isnet.org/~djoko/Islam/ Paramadina/00index, diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
    
Kekuasaan dan keadilan ekonomi

Pendahuluan

Terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur adalah cita-cita setiap negara. Keadilan dan kemakmuran bukanlah dua hal yang mudah atau gampang untuk diwujudkan. Untuk mewujudkannya perlulah komitmen kebangsaan yang konsekwen dan sungguh-sungguh. Cermatilah realitas yang ada di Indonesia, keadilan dan kemakmuran nampaknya menjadi dua hal imposible. Mengapa demikian? Realitas yang ada membuktikan bahwa keadilan dan kemakmuran jauh dari negara ini. Di mana-mana terjadi ketidakadilan, yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin terus melarat. Kemiskinan tampaknya bukan lagi masalah baru yang ada di dunia, terlebih di negara Indonesia. Nampaknya kemiskinan telah menjadi nenek moyang kita yang terus hadir dan mendampingi kita hingga saat ini.

Masalah kemiskinan bukanlah suatu masalah yang timbul dengan sendirinya atau tanpa sebab. Kemiskinan dan pemerkosaan hak-hak kaum kecil bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan terjadi karena ketidakadilan. Ketidakadilan bukanlah barang atau sesuatu yang unik dan langkah dalam pengalaman kita, namun sudah menjadi hal yang biasa dan mungkin sering menjadi konsumsi kita dalam hidup setiap hari, tapi apakah itu benar? Jawabannya  kita sendiri yang tahu.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa keadilan dalam bidang ekonomi di negara kita belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Pancasila dan UUD’45 telah menegaskan hal itu, namun sampai saat ini bangsa Indonesia, pemerintah dan masyarakat masih terus berupaya kearah itu, yakni upaya untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu aspek dari keadilan sosial adalah keadilan di bidang ekonomi.            Berikut ini adalah sedikit penjelasan kami mengenai (masalah) keadilan dalam bidang ekonomi yang ada di negara Indonesia.

I. Pemahaman tentang Keadilan dan Ekonomi

I.1. Konsep tentang keadilan

Setiap orang mendambakan keadilan. Dambaan akan keadilan menyebabkan orang terus memperjuangkan keadilan. Keadilan terus-menerus dicari dan diperjuangkan. Perjuangan dan pencarian keadilan ini sudah berlangsung sejak lama (sejak zaman dahulu). Orang dengan kemampuan dan usaha yang besar terus-menerus memperjuangkan keadilan. Apa sebenarnya keadilan itu sampai orang terus memperjuangkannya?

I.1.1. Menurut pemahaman beberapa filsuf[1]

a. Pandangan Socrates tentang keadilan

Socrates berpandangan bahwa keadilan adalah keadaan di mana pemerintah dengan rakyatnya terdapat saling pengertian yang baik. Bila para penguasa telah mematuhi dan mempraktekkan ketentuan-ketentuan hukum dan bila pemimpin negara bersikap bijaksana dan memberi contoh kehidupan yang baik. Tegasnya keadilan itu tercipta bilamana setiap warga sudah dapat merasakan bahwa  pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dari pandangan ini keadilan hanya dititik beratkan pada para pemimpin atau pejabat saja.

b. Pandangan Plato tentang Keadilan

Plato berpandangan bahwa keadilan adalah ikatan yang mempersatukan suatu masyarakat, suatu persatuan yang harmonis dari individu-individu, di mana masing-masing menunaikan tugas hidupnya sesuai dengan bakat dan pendidikannya.[2]

c. Pandangan Aristoteles tentang keadilan

Lain halnya dengan Socrates dan Plato, Aristoteles mengemukakan pandangannya tentang keadilan. Keadilan menurut Aristoteles adalah berhubungan dengan tingkah laku manusia, yakni mengenai kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan ini dimaksudkan  sebagai titik tengah di antara dua ujung ekstrim yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Ini berarti bahwa keadilan merupakan keadaan yang setara atau sesuai dengan proporsi.

d. Pandangan Kong Hu Cu tentang keadilan

Kong Hu Cu berpandangan bahwa keadilan adalah keadaan di mana anak berperan sebagai anak, ayah sebagai ayah, raja sebagi raja masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Kong Hu Cu mengartikan keadilan merujuk pada pelaksanaan peran dan fungsi masing-masing dari suatu status tertentu.

I.1.2. Pandangan Kaum Komunis tentang keadilan

Bagi kaum Komunis, yang disebut keadilan ialah apabila masing-masing orang mendapat bagian yang sama. Hal ini tercermin dari doktrin mereka “sama rata sama rasa”.

I.1.3. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

WJS Poerwadarminta dalam KUBI mengartikan kata adil dengan tidak berat sebelah atau tidak memihak.

Keadilan pada umumnya adalah keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita besama. Dengan demikian berarti bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berbuat adil berarti menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sebaliknya berbuat tidak adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia.

Keadilan itu dapat dibagi dua[3]:

Keadilan Individual: Keadilan yang tergantung dari kehendak baik atau buruk dari masing-masing individu. Ini berarti bahwa keadilan individu tergantung pada sikap seorang individu.

Keadilan Sosial:  Keadilan yang pelaksanaanya tergantung dari struktur-struktur kekuasan dalam masyarakat. Maka membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.

I.1.4. Karakteristik Keadilan[4]

Karakteristik keadilan menurut John Stuart Mill (1806-1873):

Keadilan menyangkut penghargaan atas hak legal
Keadilan menyangkut penghargan atas hak moral
Keadilan menyangkut/ berhubungan dengan kepatuhan dalam konteks komparasi
Keadilan menyangkut hal kepercayaan
Keadilan menyangkut sikap netral
Keadilan berkaitan dengan kesamaan nilai

I.2. Konsep tentang ekonomi

Ekonomi berasal dari kata Yunani, yakni oikonomia yang berarti keahlian mengurus rumahtangga secara bijaksana dan teratur. Bilamana orang mendapat hasil sebesar-besarnya dengan pengeluaran. Usaha dan alat sesedikit mungkin, maka ia bertindak ekonomis rasional.

Para ahli, merumuskan ekonomi sebagai usaha dan tindakan manusia untuk mencukupi kebutuhannya akan benda-benda, yang terbatas jumlahnya. Tujuan setiap ekonomi adalah untuk menciptakan keseimbangan tetap antara kebutuhan dan persediaan. Karena baik jumlah penduduk dan konsumsi senantiasa bertambah, maka kebutuhan terus-menerus meningkat.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan keadilan dalam bidang ekonomi adalah satu keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Ini lantas berarti bahwa keadilan dalam bidang ekonomi adalah perlakuan yang adil bagi setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada.

II.   Realitas Ketidakadilan dalam bidang Ekonomi di Indonesia

Dalam sejarahnya masyarakat Indonesia mengalami berbagai cara pengaturan ekonomi. Sebelum penjajahan Belanda dan Jepang, rupanya ada semacam sistem pengaturan yang bercorak feodal sesuai dengan sistem sosial kemasyarakatan yang ternyata tumbuh waktu itu. Sistem itu tampaknya cukup memuaskan semua pihak: yang di atas mendapat banyak hak tetapi juga memberikan banyak, yang di bawah mendapat sedikit tetapi toh merasa bahagia karena dilindungi. Di kalangan rakyat sendiri terasakan ketenteraman serta kesamaan nasib, bebas dari persaingan maupun kecemburuan sosial, sebab kemakmuran mereka rata-rata sama saja. Bahwa para rakyat itu kaya, itu mereka maklumi, bahkan mereka dukung dengan senang hati. Kalau raja makmur, mereka kan juga bangga!

Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem feodal itu di beberapa tempat “didampingi” dengan usaha-usaha dan pengaturan ekonomi “kapitalis”. Orang-orang Belanda memanfaatkan kekuasaan politis mereka untuk mencari keuntungan besar melalui perusahaan-perusahaan besar maupun melalui peraturan-peraturan yang menunjang usaha itu. Sementara itu, sistem feodal masih dibiarkan berjalan di banyak tempat, karena tidak dirasakan sebagai penghalang yang berarti bagi usaha kapitalis mereka.

Menurut banyak pengamat, dua sistem ekonomi masyarakat tersebut bertahan cukup lama setelah kemerdekaan. Memang, secara teoretis telah diusahakan perencanaan ekonomi masyarakat berdasarkan sistem-sistem ekonomi klasik, kadang-kadang sistem pasar bebas, kadang-kadang sistem ekonomi komando. Tetapi dalam kenyataan yang sesungguhnya rupanya sistem feodal dan sistem kapitalis itulah yang lebih berjaya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa hal itu masih berlaku sampai sekarang, walaupun “yang di atas” dan “yang berkapital” bukan lagi para raja atau tuan-tuan Belanda, melainkan penguasa-penguasa politik dan ekonomi yang baru.

Sistem foedal dan sistem kapitalis bagi kita yang secara sepihak akan mengatakan bahwa kedua sistem itu bukanlah sistem yang tepat dan adil sebab masih ada yang mengalami kemelaratan dan perlakuaan yang tidak adil. Tapi itu adalah sejarah yang terjadi di masa lalu. Lantas bagaimana dengan keadaan ekonomi kita sekarang ini? Sudahkah masyarakat kita hidup dalam kemakmuran dan keadilan? .

Hidup dalam kemakmuran dan keadilan nampaknya adalah satu mision imposible, tapi rasa-rasanya bisa saja mungkin. Argumen kami tentang keadilan dan kemakmuran adalah satu misi yang tidak mungkin karena kami melihat realitas dunia terlebih yang ada di Indonesia masih banyak terjadi kepincangan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat, teristimewa dalam segi ekonomi. Dalam sejarah perekonomian kita telah terjadi banyak penyimpangan dan penyesatan yang menyebabkan banyak masyarakat mengalami kemelaratan dan bahkan kemiskinan. Kemelaratan ini disebabkan oleh ketidakadilan.

Konsumerisme telah mengakibatkan banyak kaum lemah merasa dirugikan. Seperti halnya dengan adanya perlakuan yang tidak adil terhadap kaum buruh, upah yang rendah. Ini merupakan satu contoh konkret dari bentuk ketidakadilan yang terjadi. Upah yang terlalu rendah berarti buruh tidak mendapatkan atau memperoleh bagian yang wajar dari nilai yang diciptakannya dalam pekerjaannya. Jadi buruh hanya memperoleh sebagian dari pekerjaannya, sisanya diambil oleh majikan, inilah ketidakadilan.

Namun, majikan dengan rasionalisasi berargumen bahwa hubungan antara buruh dan majikan berdasarkan suatu kontrak yang bebas dan karena itu dianggap adil, padahal buruh tidak mempunyai pilihan lain karena harus hidup. Karena buruh terjepit tenaganya bisa dihisap atau dikerut. Contoh perlakuan terhadap kaum buruh ini hanya merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang terjadi di bidang ekonomi, contoh-contoh lain seperti komersialisme para TKW dan gadis-gadis yang dijadikan wanita penghibur, kenaikan harga barang yang tidak sesuai dengan pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat kecil dan marginal.

Sadar atau tidak sadar, de facto telah terjadi banyak ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat.

Pertanyaannya sekarang: Apakah keadaan terpuruk seperti ini dapat diatasi? Realitas di atas telah menunjukkan secara jelas bahwa pertanyaan ini telah digumuli sejak dahulu kala. Namun hasilnya masih tetap sama saja. Akar permasalahannya kirannya jelas bahwa terjadi suatu praktek ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Lantas, apa yang hendak diperbuat untuk mengatasi realitas ketidakadilan tersebut? Pertanyaan ini mengacu pada suatu pertanyaan lanjutan: Bagaimana dapat mewujudkan keadilan itu? Pokok ini akan dibahas secara khusus dalam bagian berikut.

III. Mewujudkan Keadilan dalam bidang Ekonomi

Keadilan dalam bidang ekonomi merupakan bagian dari keadilan sosial. Keadilan sosial seperti yang telah dipaparkan dalam pertama, yakni keadilan yang pelaksanaanya tergantung dari struktur-struktur kekuasan dalam masyarakat. Maka membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan. Struktur-stuktur itu menyangkut bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, pertahanan dan keamanan. Untuk mewujudkan keadilan sosial itu berarti bahwa keadilan dalam bidang ekonomi pun harus terwujud.

Dalam batang tubuh UUD’45 pasal 33 dengan bagus diungkapkan dua ketentuan yang amat penting: suatu pembatasan hak milik pribadi mutlak terhadap alat-alat produksi, dan suatu penetapan  tujuan dan tanggung jawab usaha ekonomi yang harus dijamin oleh negara, ialah sebesar-besarnya oleh kemakmuran rakyat. Pernyataan dalam UUD’45 ini secara jelas dan dengan resmi menetapkan bahwa pembangunan ekonomi harus demi untuk kesejahteraan rakyat. Ini berarti bahwa pembangunan yang terjadi hanya demi kepentingan pribadi atau golongan secara ekstrim dapat dikatakan tidak adil atau tidak sesuai dengan komitmen kebangsaan.

Keadilan dalam bidang ekonomi hanya akan terwujud apabila orang menyadari akan pentingnya keadilan itu sendiri bagi kehidupan, bukan hanya sekedar menyadarinya namun mengamalkannya. Hal pertama yang perlu dicermati dan dipahami adalah landasan hukumnya. Dalam pasal 33 UUD’45 termaktub 5 ciri sistem perekonomian Pancasila, yakni:

Pertama, dalam sistem ekonomi pancasila koperasi adalah sokoguru perekonomian.
Kedua, perekonomian Pancasila digerakkan oleh ransangan-ransangan ekonomi, sosial dan yang palin penting adalah moral.
Ketiga, perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam perekonomian Pancasila terdapat solidaritas sosial;
Keempat, perekonomian Pancasila berkaitan erat dengan Persatuan Indonesia, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi.
Kelima, sistem perekonomian Pancasila tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan sentral dengan tekanan dan desentralisasi di dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Jelaslah bahwa perekonomian diatur dalam perudang-undangan dan untuk itu perlulah untuk ditaati dan diamalkan dalam setiap segi kehidupan.

Ada beberapa hal yang kiranya boleh menjadi solusi bagi perwujudan keadilan dalam bidang ekonomi:

Pertama-tama perlulah dirumuskan apa yang menjadi tujuan suatu usaha untuk menciptakan suatu keadilan ekonomi. Penghapusan ketidakadilan yang paling kasar kami anggap sebagai suatu yang adil yang harus menjadi tujuan pembangunan yang paling pertama. menurut hemat kami, keadilan sekurang-kurangnya menuntut agar diubah struktur-struktur yang memaksa seseorang untuk tetap miskin dan yang membuatnya sedemikian tak berdaya sehingga ia menjadi korban segala macam penindasan. Jadi penghapusan syarat-syarat yang mengabdikan kemiskinan dan penindasan terhadap orang lemah itulah yang kami anggap tujuan terpenting dan paling pertama dalam setiap usaha untuk mengubah masyarakat.

Kiranya perlu diadakan penilaian kembali terhadap fungsi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang cepat justru sering memperkaya mereka yang sudah kaya. Maka perlu diusahakan suatu pertumbuhan ekonomi di mana pembagian hasil-hasilnya yang lebih adil sudah termasuk struktur produksi.

Perlu dipikirkan kembali apa yang seharusnya menjadi tujuan suatu pembangunan yang mau menciptakan prasarana-prasarana bagi perkembangan anggota-anggota masyarakat sebagai manusia-manusia yang utuh.

Ketidakadilan ekonomi sebenarnya telah tertanam dalam struktur proses-proses politik, sosial, budaya dan ideologi suatu masyarakat. Struktur-struktur itu sudah disusun dan terbangun sedemikian rupa sehingga menjamin kelestarian kekuasaan struktur itu, dengan kata lain, menjamin jalur-jalur penghisapan tenaga kerja golongan-golongan bawah dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin diharapkan pembongkaran struktur-struktur hanyalah berdasarkan kesadaran golongan atas. Tidak mungkin suatu golongan memotong dalam tempat duduknya sendiri. Hanya kalau masyarakat dapat mengartikulasikan diri, dapat menyatakan pendapat, keinginan, kehendak, dan kritik mereka, maka struktur-struktur yang lebih adil dapat tercipta.

Itulah kiranya beberapa pokok pikiran yang dapat kami berikan sebagai bantuan untuk mengatasi masalah ketidakadilan dalam bidang ekonomi.

Penutup

Berbicara mengenai keadilan dalam bidang ekonomi, khususnya di negara kita ibarat mengunyah sebuah permen karet; tak pernah habis terlarut dalam mulut. Oleh karena itu, hal yang hanya dapat dilakukan adalah ketika kita sudah jenuh untuk mengunyah maka segera akan membuangnya. Demikian halnya dengan masalah keadilan dalam bidang ekonomi. Masalah ini telah lama dibicarakan oleh banyak pihak, namun hingga kini masalah ketidakadilan itu tetap ada. Kirannya jelas bahwa yang menjadi persoalan bukanlah sukar untuk mencari solusi melainkan kejenuan dan keterlibatan dirilah yang menyebabkan masalah ketidakadilan ini sering terabaikan.  Kita telah melihat bahwa hanya penegakan hukum dan perubahan dalam semua lapisanlah yang dapat memungkinkan terjadi suatu perubahan. Oleh karena itu, marilah kita berjuang bersama untuk hal itu.

Kepustakaan

Banawiratma, Aspek-Aspek Teologi Sosial, Jogjakarta: Kanisius 1988

Boendiono, Ekonomi Internasional, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM 1981

Djoko Widagdho, Drs. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka 1973

Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jilid I), Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka 1990

Ismael Saleh, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1990

Komisi Kateketik KWI, Persekutuan Murid-Murid Yesus, Yogyakarta: Kanisius 2004

Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia 1986

Malingkas Melky, Traktat Kuliah Filsafat Sosial, STF-SP 2005

Sabine.G.H. Teori-teori Politik. Jakarta: Binacipta.1963

Winardi, Politik Ekonomi,  Bandung: Tarsito 1976

[1] Bdk. Djoko Widagdho, Drs. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 123-125.

[2] Sabine.G.H. Teori-teori Politik. Jakarta: Binacipta.1963. Hlm 55.

[3] Suseno, Magnis. F. Dr. Kuasa dan Moral. Jakarta:Gramedia 1986. Hlm 44-45

[4] Malingkas Melky SS. Traktat Filsafat Sosial. 2005. Hlm 37-39
 
Kesimpulan

Daftar pustaka

Read More »