Ayat Ekonomi tentang Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi QS. an-Nisa' (4) : 58 dan Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer

Ayat Ekonomi tentang Kesejahteraan dan Keadilan Ekonomi
(Penguasa dan amanah)
QS. an-Nisa' (4) : 58

 
Terjemah
58.  Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

Tafsir Ayat


إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَماناتِ إِلى أَهْلِها وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً (58)

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.

Allah Swt. memberitahukan bahwa Dia memerintahkan agar amanat-amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya.

Di dalam hadis Al-Hasan, dari Samurah, disebutkan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

"أَدِّ الْأَمَانَةِ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ"

Sampaikanlah amanat itu kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah kamu berkhianat terhadap orang yang berkhianat kepadamu.

Hadis riwayat Imam Ahmad dan semua pemilik kitab sunan. Makna hadis ini umum mencakup semua jenis amanat yang diharuskan bagi manusia menyampaikannya.

Amanat tersebut antara lain yang menyangkut hak-hak Allah Swt. atas hamba-hamba-Nya, seperti salat, zakat, puasa, kifarat, semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal yang dipercayakan kepada seseorang dan tiada seorang hamba pun yang melihatnya. Juga termasuk pula hak-hak yang menyangkut hamba-hamba Allah sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, seperti semua titipan dan lain-lainnya yang merupakan subjek titipan tanpa ada bukti yang menunjukkan ke arah itu. Maka Allah Swt. memerintahkan agar hal tersebut ditunaikan kepada yang berhak menerimanya. Barang siapa yang tidak melakukan hal tersebut di dunia, maka ia akan dituntut nanti di hari kiamat dan dihukum karenanya. 

Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadis sahih, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَتُؤَدَّنَّ الْحُقُوقُ إِلَى أَهْلِهَا، حَتَّى يُقْتَصَّ لِلشَّاةِ الْجَمَّاءِ مِنَ الْقَرْنَاءِ"

Sesungguhnya semua hak itu benar-benar akan disampaikan kepada pemiliknya. hingga kambing yang tidak bertanduk diperintahkan membalas terhadap kambing yang bertanduk (yang dahulu di dunia pernah menyeruduknya).

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya syahadat itu menghapus semua dosa kecuali amanat." Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa di hari kiamat kelak seseorang diajukan (ke hadapan peradilan Allah). Jika lelaki itu gugur di jalan Allah, dikatakan kepadanya, "Tunaikanlah amanatmu." 

Maka lelaki itu menjawab, "Bagaimana aku akan menunaikannya, sedangkan dunia telah tiada?" Maka amanat menyerupakan dirinya dalam bentuk sesuatu yang terpadat di dalam dasar neraka Jahannam. Maka lelaki itu turun ke dasar neraka, lalu memikulnya di atas pundaknya. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa setiap kali ia mengangkat amanat itu, maka amanat itu terjatuh dari pundaknya, lalu ia pun ikut terjatuh ke dasar neraka; begitulah selama-lamanya. Zazan mengatakan bahwa lalu ia datang menemui Al-Barra ibnu Azib dan menceritakan hal tersebut kepada Al-Barra. Maka Al-Barra mengatakan, "Benarlah apa yang dikatakan oleh saudaraku." Lalu ia membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58)

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa amanat ini bermakna umum dan wajib ditunaikan terhadap semua orang, baik yang bertakwa maupun yang durhaka.

Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini umum pengertiannya menyangkut bagi orang yang berbakti dan orang yang durhaka.

Abul Aliyah mengatakan bahwa amanat itu ialah semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dilarang mereka mengerjakannya.

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Al-A'masy, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah mengatakan, "Termasuk ke dalam pengertian amanat ialah memelihara farji bagi seorang wanita."

Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa wanita termasuk amanat yang menyangkut antara kamu dan orang lain.

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Termasuk ke dalam pengertian amanat ini ialah nasihat sultan kepada kaum wanita, yakni pada hari raya.

Kebanyakan Mufassirin menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah. Nama Abu Talhah ialah Abdullah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar ibnu Qusai ibnu Kitab Al-Qurasyi Al-Abdari, pengurus Ka'bah. Dia adalah saudara sepupu Syaibah ibnu Usman ibnu Abu Talhah yang berpindah kepadanya tugas pengurusan Ka'bah hingga turun-temurun ke anak cucunya sampai sekarang.

Usman yang ini masuk Islam dalam masa perjanjian gencatan senjata antara Perjanjian Hudaibiyah dan terbukanya kota Mekah. Saat itu ia masuk Islam bersama Khalid ibnul Walid dan Amr ibnul As. Pamannya bernama Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah, ia memegang panji pasukan kaum musyrik dalam Perang Uhud, dan terbunuh dalam peperangan itu dalam keadaan kafir.

Sesungguhnya kami sebutkan nasab ini tiada lain karena kebanyakan Mufassirin kebingungan dengan nama ini dan nama itu (yakni antara Usman ibnu Abu Talhah pengurus Ka'bah dan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah yang mati kafir dalam Perang Uhud).

Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Usman tersebut ialah ketika Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah dari tangannya pada hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian Rasulullah Saw. mengembalikan kunci itu kepadanya (setelah ayat ini diturunkan).

Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan perang kemenangan atas kota Mekah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ketika Rasulullah Saw. turun di Mekah, semua orang tenang. Maka beliau Saw. keluar hingga sampai di Baitullah, lalu melakukan tawaf di sekelilingnya sebanyak tujuh kali dengan berkendaraan, dan beliau mengusap rukun Hajar Aswad dengan tongkat yang berada di tangannya.

Seusai tawaf, beliau memanggil Usman ibnu Talhah, lalu mengambil kunci pintu Ka'bah darinya. Kemudian pintu Ka'bah dibukakan untuk Nabi Saw., lalu Nabi Saw. masuk ke dalamnya. Ketika berada di dalam beliau melihat patung burung merpati yang terbuat dari kayu, maka beliau mematahkan patung itu dengan tangannya, lalu membuangnya. Setelah itu beliau berhenti di pintu Ka'bah, sedangkan semua orang dalam keadaan tenang dan diam dengan penuh hormat kepada Nabi Saw.; semuanya berada di masjid.

Ibnu Ishaq mengatakan bahwa salah seorang Ahlul Ilmi telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah Saw. bersabda ketika berdiri di depan pintu Ka'bah:

«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، صَدَقَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ، أَلَا كُلُّ مَأْثُرَةٍ أَوْ دَمٍ أَوْ مَالٍ يُدْعَى فَهُوَ تَحْتَ قَدَمَيَّ هَاتَيْنِ، إِلَّا سِدَانَةَ الْبَيْتِ وَسِقَايَةَ الْحَاجِّ»

Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia telah menunaikan janji-Nya kepada hamba-Nya, dan telah menolong hamba-Nya dan telah mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian. Ingatlah, semua dendam atau darah atau harta yang didakwakan berada di bawah kedua telapak kakiku ini, kecuali jabatan Sadanatul Ka'bah (pengurus Ka'bah) dan Siqayalut Haj (pemberi minum jamaah haji).

Ibnu Ishaq melanjutkan kisah hadis sehubungan dengan khotbah Nabi Saw. pada hari itu, hingga ia mengatakan bahwa setelah itu Rasulullah Saw. duduk di masjid. Maka menghadaplah kepadanya Ali ibnu Abu Talib seraya membawa kunci pintu Ka'bah. Lalu Ali berkata, "Wahai Rasulullah, serahkan sajalah tugas ini kepada kami bersama jabatan siqayah, semoga Allah melimpahkan salawat kepadamu."

Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Di manakah Usman ibnu Talhah?" Lalu Usman dipanggil. Setelah ia menghadap, Rasulullah Saw. bersabda kepadanya:

"هَاكَ مِفْتَاحَكَ يَا عُثْمَانُ، الْيَوْمُ يَوْمُ وَفَاءٍ وَبِرٍّ"

Inilah kuncimu, hai Usman, hari ini adalah hari penyampaian amanat dan kebajikan.

Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah. 

Rasulullah Saw. mengambil kunci pintu Ka'bah darinya, lalu beliau masuk ke dalam Ka'bah; hal ini terjadi pada hari kemenangan atas kota Mekah. Setelah itu beliau Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membacakan ayat ini, yaitu firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat. Lalu Rasulullah Saw. memangggil Usman dan menyerahkan kepadanya kunci tersebut.

Ibnu Juraij mengatakan bahwa ketika Rasulullah Saw. keluar dari dalam Ka'bah seraya membaca firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Semoga Allah menjadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan beliau. Aku tidak pernah mendengar beliau membaca ayat ini sebelumnya."

Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Az-Zunji-ibnu Khalid, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Nabi Saw. menyerahkan kunci pintu Ka'bah kepada Usman seraya berkata, "Bantulah dia oleh kalian (dalam menjalankan tugasnya sebagai hijabatul bait)."

Ibnu Murdawaih meriwayatkan melalui jalur Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) Ketika Rasulullah Saw. membuka kota Mekah, beliau memanggil Usman ibnu Talhah. Setelah Usman menghadap, beliau bersabda, "Berikanlah kunci itu kepadaku." Lalu Usman ibnu Talhah mengambil kunci itu untuk diserahkan kepada Nabi Saw. Ketika ia mengulurkan tangannya kepada Nabi Saw., maka Al-Abbas datang menghampirinya dan berkata, "Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, berikanlah jabatan sadanah ini bersama jabatan siqayah kepadaku." Maka Usman menarik kembali tangannya, dan Rasulullah Saw. bersabda, "Hai Usman, serahkanlah kunci itu kepadaku." Maka Usman mengulurkan tangannya untuk menyerahkan kunci. Tetapi Al-Abbas mengucapkan kata-katanya yang tadi, dan Usman kembali menarik tangannya. 

Maka Rasulullah Saw. bersabda: "Hai Usman, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, serahkanlah kunci itu." Maka Usman berkata, "Terimalah dengan amanat dari Allah." Rasulullah Saw. berdiri dan membuka pintu Ka'bah, dan di dalamnya beliau menjumpai patung Nabi Ibrahim a.s. sedang memegang piala yang biasa dipakai untuk mengundi. 

Maka Rasulullah Saw. bersabda:

«مَا لِلْمُشْرِكِينَ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ، وَمَا شَأْنُ إِبْرَاهِيمَ وَشَأْنُ الْقِدَاحِ»

Apakah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini, semoga Allah melaknat mereka, dan apakah kaitannya antara Nabi Ibrahim dengan piala ini?

Kemudian Nabi Saw. meminta sebuah panci besar yang berisikan air, lalu beliau mengambil air itu dan memasukkan piala itu ke dalamnya berikut patung tersebut. Lalu beliau mengeluarkan maqam Ibrahim dari dalam Ka'bah, kemudian menempelkannya pada dinding Ka'bah. Pada mulanya maqam Ibrahim ditaruh di dalam Ka'bah. Setelah itu beliau bersabda:

«يَا أَيُّهَا النَّاسُ هَذِهِ الْقِبْلَةُ»

Hai manusia, inilah kiblat!

Selanjutnya Rasulullah Saw. keluar, lalu melakukan tawaf di Ka'bah sekali atau dua kali keliling. Menurut apa yang disebutkan oleh pemilik kitab Bardul Miftah, setelah itu turunlah Malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah Saw. membacakan firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.

Demikian menurut riwayat yang terkenal, yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Pada garis besarnya tidak memandang apakah ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, makna ayat adalah umum. Karena itulah Ibnu Abbas dan Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini menyangkut orang yang berbakti dan orang yang durhaka. 

Dengan kata lain, bersifat umum merupakan perintah terhadap semua orang.

* * *
Firman Allah Swt.:

وَإِذا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. (An-Nisa: 58)

Hal ini merupakan perintah Allah Swt. yang menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Karena itulah maka Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa ayat ini diturunkan hanya berkenaan dengan para umara, yakni para penguasa yang memutuskan perkara di antara manusia. Di dalam sebuah hadis disebutkan:

"إِنِ اللَّهَ مَعَ الْحَاكِمِ مَا لَمْ يَجُرْ، فَإِذَا جَارَ وَكَلَهُ إِلَى نَفْسِهِ"

Sesungguhnya Allah selalu bersama hakim selagi ia tidak aniaya; apabila ia berbuat aniaya dalam keputusannya, maka Allah menyerahkan dia kepada dirinya sendiri (yakni menjauh darinya).

Di dalam sebuah atsar disebutkan:

«عَدْلُ يَوْمٍ كَعِبَادَةِ أَرْبَعِينَ سَنَةً»

Berbuat adil selama sehari lebih baik daripada melakukan ibadah empat puluh tahun.

* * *
Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ

Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. (An-Nisa: 58)

Allah memerintahkan kepada kalian untuk menyampaikan amanat-amanat tersebut dan memutuskan hukum dengan adil di antara manusia serta lain-lainnya yang termasuk perintah-perintah-Nya dan syariat-syariat-Nya yang sempurna lagi agung dan mencakup semuanya.

* *
Firman Allah Swt.:

إِنَّ اللَّهَ كانَ سَمِيعاً بَصِيراً

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58)

Maha mendengar semua ucapan kalian lagi Maha Melihat semua perbuatan kalian.

قَالَ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَة، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي الْخَيْرِ، عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُقْرِئُ هَذِهِ الْآيَةَ {سَمِيعًا بَصِيرًا} يَقُولُ: بِكُلِّ شَيْءٍ بَصِيرٌ

Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah Saw. sedang membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58)
Lalu beliau Saw. bersabda: Maha Melihat segala sesuatu.

Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Al-Muqri (yakni Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Yazid), telah menceritakan kepada kami Harmalah (yakni Ibnu Imran), bahwa At-Tajibi Al-Masri pernah menceritakan bahwa dia mendengar hadis ini dari Yunus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah membaca firman-Nya:  

Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. (An-Nisa: 58) sampai dengan firman-Nya: Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (An-Nisa: 58) Abu Hurairah meletakkan jari jempolnya pada telinganya, sedangkan jari yang berikutnya ia letakkan pada matanya, lalu ia berkata bahwa demikianlah yang pernah ia lihat dari Rasulullah Saw. ketika membaca ayat ini, lalu beliau Saw. meletakkan kedua jarinya pada kedua anggota tersebut (telinga dan mata). Abu Zakaria mengatakan bahwa Al-Muqri memperagakannya kepada kami. Kemudian Abu Zakaria meletakkan jari jempolnya yang kanan pada mata kanannya dan jari berikutnya pada telinga kanannya. Lalu ia mengatakan, "Al-Muqri memperagakan seperti ini kepada kami."

Imam Abu Daud, Imam Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya. dan Ibnu Murdawaih di dalam kitab tafsimya telah meriwayatkan melalui hadis Abu Abdur Rahman Al-Muqri berikut sanadnya dengan lafaz yang semisal.

Abu Yunus yang disebutkan di dalam sanad hadis ini adalah maula Abu Hurairah r.a., nama aslinya adalah Sulaim ibnu Jubair.

Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
 
 Kekuasaan dan amanah
 
  Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan. (Nasehat Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam pada Abu Dzar)

Amanah Kekuasaan Amanat Para Ulama Nasehat Tentang Kekuasaan

Pemimpin haruslah amanat. Namun sifat amanat ini sangat kurang untuk saat ini, bahkan walau kepalanya dibaluti sorban atau jidatnya nampak bekas shalat. Sungguh, musibah di akhir zaman. Perhatikan nasehat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abu Dzar berikut ini.

Abu Dzarr berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنِّى أَرَاكَ ضَعِيفًا وَإِنِّى أُحِبُّ لَكَ مَا أُحِبُّ لِنَفْسِى لاَ تَأَمَّرَنَّ عَلَى اثْنَيْنِ وَلاَ تَوَلَّيَنَّ مَالَ يَتِيمٍ

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya aku melihatmu adalah orang yang lemah dan aku sangat senang memberikanmu apa yang aku senangi untuk diriku sendiri. Janganlah engkau menjadi pemimpin atas dua orang dan janganlah pula engkau mengurusi harta anak yatim.” (HR. Muslim no. 1826).

Dari Abu Dzarr pula, ia berkata, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak memberiku kekuasaan?” Lalu beliau memegang pundakku dengan tangannya, kemudian bersabda,

يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا

“Wahai Abu Dzarr, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah. Dan kekuasaan itu adalah amanah, dan kekuasaan tersebut pada hari kiamat menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haknya dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu.” (HR. Muslim no. 1825).

Imam Nawawi membawakan dua hadits di atas dalam kitab Riyadhus Sholihin pada Bab “Larangan meminta kepemimpinan dan memilih meninggalkan kekuasaan apabila ia tidak diberi atau karena tidak ada hal yang mendesak untuk itu.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak layak kepemimpinan atau kekuasaan diberikan pada orang yang lemah yang tidak punya kapabilitas, bukan ahli di dalamnya. Namun boleh menerima kekuasaan jika diberikan oleh khalifah atau oleh majelis yang bertugas untuk menunjuk penguasa yang capable.

Point penting yang patut dicatat bahwa kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanat yang berat dan berbahaya. Siapa yang diberi amanat seperti ini hendaklah ia benar-benar menjalankannya dan jangan bersifat khianat. Jika ia menjalaninya dengan benar dan punya kapabilitas di dalamnya, maka ia akan mendapatkan keutamaan yang besar berupa naungan Allah pada hari kiamat kelak.

Hanya Allah yang memberi taufik.


Referensi:

Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhis Sholihin, Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al Hilali, terbitan Dar Ibnil Jauzi, cetakan pertama, tahun 1430 H, 1: 663-664.

By Muhammad Abduh Tuasikal, MSc.
 
Kekuasaan dan keadilan

PENDAHULUAN

Pengertian Kekuasaan

Dari sudut etimologi, kekuasaan secara sederhana dan umum diartikan sebagai “kemampuan berbuat dan bertindak” (power is an abnility to do or act). Secara terminologi memperlihatkan bahwa kekuasaan adalah suatu kemampuan yang terdapat didalam hubungan antar manusia (sosial) sebagai wadah penerapan kekuasaan. Kekuasaan  oleh Miriam Budiardjo, yaitu kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa hingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempuanyai kekuasaan itu. 1

Secara umum ada dua bentuk kekuasaan:

1. Pertama kekuasaan pribadi, kekuasaan yang didapat dari para pengikut dan didasarkan pada seberapa besar pengikut mengagumi, respek dan terikat pada pemimpin.
2. Kedua kekuasaan posisi, kekuasaan yang didapat dari wewenang formal organisasi.

Kekuasaan adalah kemampuan untuk menggunakan pengaruh pada orang lain artinya kemampuan untuk mengubah sikap atau tingkah laku individu atau kelompok. Kekuasaan juga berarti kemampuan untuk mempengaruhi individu, kelompok, keputusan, atau kejadian. Kekuasaan tidak sama dengan wewenang, wewenang tanpa kekuasaan atau kekuasaan tanpa wewenang akan menyebabkan konflik dalam organisasi. Kekuasaan berkaitan erat dengan pengaruh (influence) yaitu tindakan atau contoh tingkah laku yang menyebabkan perubahan sikap atau tingkah laku orang lain atau kelompok.

Kekuasaan, menurut pakar sosiologi – politik, berasal dari lima sumber, yaitu:
a) Kekuatan (kekerasan) fisik
b) Kedudukan atau jabatan
c) Kekayaan
d) Kepercayaan atau keyakinan
e) Ketrampilan dan keahlian.

2. Pengertian Keadilan

Kata keadilan dalam bahasa Inggris adalah justice yang berasal dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu

(1) secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair (sinonimnya justness),
(2) sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang menentukan hak dan ganjaran atau hukuman (sinonimnya judicature), dan
(3) orang, yaitu pejabat publik yang berhak menentukan persyaratan sebelum suatu perkara di bawa ke pengadilan (sinonimnya judge, jurist, magistrate).

Sedangkan kata adil dalam bahasa Indonesia bahasa Arab “al ‘adl” yang artinya sesuatu yang baik, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan.3 Untuk menggambarkan keadilan juga digunakan kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta’dilu” dalam arti mempersekutukan Tuhan dan ‘adl dalam arti tebusan).

Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan keadilan, serta bagaimana memajukan keadilan. Namun tentu tidak demikian halnya jika ingin memainkan peran menegakkan keadilan

PEMBAHASAN

1. Teori Kekuasaan Machiavelli

1.1. Situasi Sosial Politik

Machiavelli lahir di masa zaman Renaissanse. Istilah zaman Renaissance dalam konteks sejarah Barat diartikan sebagai kebangkitan kembali minat yang sangat besar terhadap warisan Yunani dan Romawi kuno dalam berbagai aspek. Bagi para sejarawan, renaissance dianggap sebagai starting point perkembangan peradaban eropa, hal ini dikarenakan

Pertama, pencapaian keberhasilan manusia renaissance di berbagai bidang.
Kedua, kebangkitan kembali minat terhadap warisan Yunani dan Romawi kuno.
Ketiga, terjadinya perubahan terhadap pola fikir manusia dari teosintrik menjadi antroposentrik.
Keempat, terjadinya perlawanan terhadap otoritas gereja yang melahirkan kebebasan intelektual dan agama.
Kelima, memunculkan wawasan baru mengenai relasi negara, agama dan moralitas.

Dapat dikatakan zaman renaissance merupakan jaman peralihan antara zaman kegelapan (Dark Ages) abad pertengahan ke zaman pencerahan (Enlightenment Age).

Adapun yang melatar belakangi dinamika perubahan zaman dimasa itu adalah Pertama, terjadinya perkembangan kapitalisme dan merkantilisme melalui kontak perdagangan antara peradaban timur dan barat hal ini menyebabkan terjadinya perubahan dalam masyarakat dari masyarakat agraris berorientasi desa menuju masyarakat berorientasi kota, sehingga memunculkan kota-kota baru. Kedua, perang salip yang berlangsung abad X dan XII jusru memberikan dampak positif bagi dunia barat. Karena perang ini terjadilah kontak perdagangan antara dunia barat (kristen) dengan dunia timur (islam), dari hubungan inilah terjadi tranmisi peradaban, dimana kegemilangan peradaban islam menular ke eropa, khususnya Itali.

Ketiga, pertikaian antara agama kristen dengan ilmu pengetahuan. dimasa itu terjadi perlawanan kaum cendikiawan melawan dogma-dogma gereja dimana hasil temuan dari para cendikiawan dianggap sebagai penyimpangan terhadap doktrin gereja. Hal ini justru menimbulkan konflik diantara keduanya. Penyebabnya, karena gereja dalam menangani konflik dengan cara-cara kekerasan dan kekejaman, hal ini menimbulkan benih-benih perlawanan dan semakin berkembangnya humanisme di Italia mengakibatkan terjadilah perubahan yang menganggap manusia sebagai pusat dunia.

Abad pertengahan yang mengsakralkan cosmos berubah dan mengesahkan terjadinya persaingan kekuaasaan, manusia saat itu menjadi sangat agresif, mencari dan mengejar apa yg belum dimiliki dan menjaga semampu mungkin apa yg telah di dapat. Setting sosial politik saat itu sangat chaos, khususnya dalam hal perebutan kotoritas kekuasaan.

1.2 Kekuasaan Menurut Machiavelli

Kekuasaan menurut Machiavelli bersandar pada pengalaman manusia. Kekuasaan memiliki otonomi terpisah dari nilai moral. Karena menurutnya, kekuasaan bukanlah alat untuk mengabdi pada kebajikan, keadilan dan kebebasan dari tuhan, melainkan kekuasaan sebagai alat untuk mengapdi pada kepentingan negara. Dalam pemikiran Machiavelli kekuasaan memiliki tujuan menyelamatkan kehidupan negara dan mempertahankan kemerdekaan.

Hal ini dapat dilihat dalam karyanya The Prince, dimana kekuasaan seharusnya merujuk pada kepentingan kekuasaan itu sendiri, tidak lain untuk mewujudkan kekuasaan yang  kuat.Ia menyarankan penguasa, sebagai pemilik kekuasaan seharusnya mampu mengejar kepentingan Negara, demi kejayaan dan kebesarannya. Penguasa harus mampu menjaga kedaulatan negara dari berbagai ancaman yang mungkin terjadi, untuk itu penguasa harus prioritaskan stabilitas negara dan selalu dalam kondisi siaga dalam menghadapi berbagai kemungkinan serangan musuh. Untuk itu penguasa haruslah memperkuat basis pertahanan dan keamanan negara serta kedaulatan dan kesatuan negara harus diprioritaskan.

Dalam konteks ini, menurut Machiavelli, hukum memiliki peranan sebagai penengah untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa negara. Namum hukum tidak akan berjalan tampa adanya intervensi dukungan penguasa. Peranan hukum yang besar dalam upaya tercibtanya stabilitas kekuasaan akan lebih baik bilamana didukung oleh kekuatan militer.

Kekuasaan menurut Machiavelli merupakan alat yang mengabdi pada kepentingan negara. Kekuasaan, dalam hal ini kekuasaan militer, juga merupakan merupakan dasar negara yang utama, bahkan melampaui hukum. Oleh karena itu, ajaran Machiavelli dinamakan ajaran tentang “Kepentingan Negara” (staatraison). Jadi, negara adalah tujuan akhir dari kekuasaan. Bahkan demi tujuan akhir tersebut, Machiavelli mengabaikan tujuan-tujuan lainnya, seperti keadilan, kebebasan, dan kebaikan bagi warga negara.

Hal ini tentu saja tidak sejalan dengan etika kekuasaan di negara demokrasi dimana rakyat adalah tema sentral dari kekuasaan. Namun ada unsur pemikiran Machiavelli yang masih relevan dengan konteks negara demokrasi, yaitu, dalam hal bagaimana meraih kekuasaan. Seseorang dapat meraih kekuasaan, menurut Machiavelli apabila dalam dirinya terdapat dua hal, yaitu, keberuntungan (fortuna) dan kecerdikan (virtu).

Keberuntungan menentukan separuh dari dapat diraihnya kekuasaan, separuh lainnya, atau hampir sebanyak itu, ditentukan oleh kecerdikan individu tersebut. Digambarkan olehnya bahwa manusia harus mempersiapkan diri dengan virtunya agar ketika “banjir” keberuntungan itu datang, dia telah siap untuk menghadapinya dan menggunakan keberuntungan tersebut sebaik-baiknya demi meraih kekuasaan.

Ada kecenderungan bahwa orang yang kekuasaannya lebih didasarkan pada kecerdikan, lebih kuat kedudukannya. Semakin orang tidak mengandalkan keberuntungan, akan semakin kuat kedudukannya. Sebaliknya, orang yang meraih kekuasaan lebih karena keberuntungan sehingga didapatkannya tanpa usaha keras, akan mengalami kesulitan besar dalam usahanya mempertahankan kekuasaan.

Dalam era demokrasi pun banyak unsur pemikiran Machiavelli tentang mempertahankan kekuasaan yang layak untuk dipakai, namun tentunya dengan penyesuaian berupa penghalusan cara-cara tindakan. Misalnya, pemikirannya tentang seorang penguasa harus mengetahui bagaimana menggunakan sifat manusia dan sifat binatang, dan bahwa menggunakan salah satu tanpa yang lainnya tidak akan dapat bertahan. Kedua sifat ini memang harus dimiliki penguasa. Dalam hal sifat binatang, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa harus menjadi rubah agar mengenal perangkap-perangkap dan menjadi singa untuk menghalau serigala-serigala. Jelas sifat ini perlu dimiliki penguasa sebab dalam politik di era demokrasi ini terdapat banyak perangkap-perangkap dan ancamanancaman dari lawan-lawan politik. Sifat binatang ini hanya dipakai apabila terdapat ancaman bagi kelangsungan kekuasaan, diluar kondisi itu, penguasa sepatutnya kembali bersifat manusia. Untuk menghindari datangnya perangkap dan ancaman, dapat diantisipasi dengan beberapa cara, misalnya, tidak menambah kekuasaan seseorang (bawahan) yang sudah kuat, tidak memasukkan orang yang terlalu kuat ke dalam jajaran kabinet, kalau seandainya ada seseorang yang menjadi terlalu kuat di dalam kabinet sehingga berpotensi melampaui kekuasaannya, sebaiknya diberhentikan.

Pemikiran Machiavelli lainnya yang masih layak dipakai dalam praktek negara demokrasi adalah berupa nasehat-nasehat. Tentang hubungannya dengan militer, Machiavelli mengatakan bahwa seorang penguasa ideal ialah seorang penguasa yang harus sanggup menjadi panglima militer yang cakap dan trampil serta yang benar-benar dapat mengendalikan angkatan perang dengan baik. Penguasa dalam negara demokrasi adalah juga seorang panglima tertinggi dalam angkatan perang, maka penguasa harus bisa menunjukkan perannya danbisa mengendalikan militer sebaik-baiknya. Selain itu, penguasa yang kuat adalah mereka yang mempunyai pasukan yang besar atau bisa menghimpun angkatan perang yang mampu menghadapi setiap ancaman kedaulatan negara.

2. Teori Keadilan

2.1 Teori Keadilan Aristoteles

Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.

Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini Aristoteless menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.

Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.

Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.

Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.

Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alamjika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.

2.2  Teori Keadilan Sosial John Rawlss

Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial. Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu.
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.

Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus diberi perlindungan khusus. Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan Mill.

Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum, tetapi tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

Dengan demikian, prisip berbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan harus memosisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

DAFTAR PUSTAKA

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum.
Fariz Pradipta Lawz, Sistem Hukum Administrasi Negara dalam Konsep Welfare State. Makalah.
John Rawls, 2006. A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Kilcullen, R. J. “Tape 11: Rawls, A Theory of Justice (Draft)”.http://www.humanities.mq.edu.au/ Ockham/y6411.html. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
Machiavelli. Diskussus, dalam terjemahan “The Discourses”, The Modern Library, New York, 1950, Bab XIIdan Bab XVII.
Rapar, J.H. 2001. Filsafat Politik Plato, Aristotales, Agustinus, Machiavelli. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
The Philosophy Club. “Rawls’s Theory of Justice”. http://www.sydgram.nsw.edu.au/ College_Street/extension/philosophy/rawls.htm. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
Wahid, Abdurrahman, Konsep-Konsep Keadilan, http://www.isnet.org/~djoko/Islam/ Paramadina/00index, diakses pada tanggal 25 Oktober 2011.
    
Kekuasaan dan keadilan ekonomi

Pendahuluan

Terciptanya suatu masyarakat yang adil dan makmur adalah cita-cita setiap negara. Keadilan dan kemakmuran bukanlah dua hal yang mudah atau gampang untuk diwujudkan. Untuk mewujudkannya perlulah komitmen kebangsaan yang konsekwen dan sungguh-sungguh. Cermatilah realitas yang ada di Indonesia, keadilan dan kemakmuran nampaknya menjadi dua hal imposible. Mengapa demikian? Realitas yang ada membuktikan bahwa keadilan dan kemakmuran jauh dari negara ini. Di mana-mana terjadi ketidakadilan, yang kaya semakin kaya, sedangkan yang miskin terus melarat. Kemiskinan tampaknya bukan lagi masalah baru yang ada di dunia, terlebih di negara Indonesia. Nampaknya kemiskinan telah menjadi nenek moyang kita yang terus hadir dan mendampingi kita hingga saat ini.

Masalah kemiskinan bukanlah suatu masalah yang timbul dengan sendirinya atau tanpa sebab. Kemiskinan dan pemerkosaan hak-hak kaum kecil bukanlah terjadi secara alamiah, melainkan terjadi karena ketidakadilan. Ketidakadilan bukanlah barang atau sesuatu yang unik dan langkah dalam pengalaman kita, namun sudah menjadi hal yang biasa dan mungkin sering menjadi konsumsi kita dalam hidup setiap hari, tapi apakah itu benar? Jawabannya  kita sendiri yang tahu.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa keadilan dalam bidang ekonomi di negara kita belum terwujud sebagaimana yang diharapkan. Pancasila dan UUD’45 telah menegaskan hal itu, namun sampai saat ini bangsa Indonesia, pemerintah dan masyarakat masih terus berupaya kearah itu, yakni upaya untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Salah satu aspek dari keadilan sosial adalah keadilan di bidang ekonomi.            Berikut ini adalah sedikit penjelasan kami mengenai (masalah) keadilan dalam bidang ekonomi yang ada di negara Indonesia.

I. Pemahaman tentang Keadilan dan Ekonomi

I.1. Konsep tentang keadilan

Setiap orang mendambakan keadilan. Dambaan akan keadilan menyebabkan orang terus memperjuangkan keadilan. Keadilan terus-menerus dicari dan diperjuangkan. Perjuangan dan pencarian keadilan ini sudah berlangsung sejak lama (sejak zaman dahulu). Orang dengan kemampuan dan usaha yang besar terus-menerus memperjuangkan keadilan. Apa sebenarnya keadilan itu sampai orang terus memperjuangkannya?

I.1.1. Menurut pemahaman beberapa filsuf[1]

a. Pandangan Socrates tentang keadilan

Socrates berpandangan bahwa keadilan adalah keadaan di mana pemerintah dengan rakyatnya terdapat saling pengertian yang baik. Bila para penguasa telah mematuhi dan mempraktekkan ketentuan-ketentuan hukum dan bila pemimpin negara bersikap bijaksana dan memberi contoh kehidupan yang baik. Tegasnya keadilan itu tercipta bilamana setiap warga sudah dapat merasakan bahwa  pihak pemerintah sudah melaksanakan tugasnya dengan baik. Dari pandangan ini keadilan hanya dititik beratkan pada para pemimpin atau pejabat saja.

b. Pandangan Plato tentang Keadilan

Plato berpandangan bahwa keadilan adalah ikatan yang mempersatukan suatu masyarakat, suatu persatuan yang harmonis dari individu-individu, di mana masing-masing menunaikan tugas hidupnya sesuai dengan bakat dan pendidikannya.[2]

c. Pandangan Aristoteles tentang keadilan

Lain halnya dengan Socrates dan Plato, Aristoteles mengemukakan pandangannya tentang keadilan. Keadilan menurut Aristoteles adalah berhubungan dengan tingkah laku manusia, yakni mengenai kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan ini dimaksudkan  sebagai titik tengah di antara dua ujung ekstrim yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Ini berarti bahwa keadilan merupakan keadaan yang setara atau sesuai dengan proporsi.

d. Pandangan Kong Hu Cu tentang keadilan

Kong Hu Cu berpandangan bahwa keadilan adalah keadaan di mana anak berperan sebagai anak, ayah sebagai ayah, raja sebagi raja masing-masing telah melaksanakan kewajibannya. Kong Hu Cu mengartikan keadilan merujuk pada pelaksanaan peran dan fungsi masing-masing dari suatu status tertentu.

I.1.2. Pandangan Kaum Komunis tentang keadilan

Bagi kaum Komunis, yang disebut keadilan ialah apabila masing-masing orang mendapat bagian yang sama. Hal ini tercermin dari doktrin mereka “sama rata sama rasa”.

I.1.3. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

WJS Poerwadarminta dalam KUBI mengartikan kata adil dengan tidak berat sebelah atau tidak memihak.

Keadilan pada umumnya adalah keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya dan setiap orang memperoleh bagian yang sama dari kekayaan kita besama. Dengan demikian berarti bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berbuat adil berarti menghargai dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, sebaliknya berbuat tidak adil berarti menginjak-injak harkat dan martabat manusia.

Keadilan itu dapat dibagi dua[3]:

Keadilan Individual: Keadilan yang tergantung dari kehendak baik atau buruk dari masing-masing individu. Ini berarti bahwa keadilan individu tergantung pada sikap seorang individu.

Keadilan Sosial:  Keadilan yang pelaksanaanya tergantung dari struktur-struktur kekuasan dalam masyarakat. Maka membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan.

I.1.4. Karakteristik Keadilan[4]

Karakteristik keadilan menurut John Stuart Mill (1806-1873):

Keadilan menyangkut penghargaan atas hak legal
Keadilan menyangkut penghargan atas hak moral
Keadilan menyangkut/ berhubungan dengan kepatuhan dalam konteks komparasi
Keadilan menyangkut hal kepercayaan
Keadilan menyangkut sikap netral
Keadilan berkaitan dengan kesamaan nilai

I.2. Konsep tentang ekonomi

Ekonomi berasal dari kata Yunani, yakni oikonomia yang berarti keahlian mengurus rumahtangga secara bijaksana dan teratur. Bilamana orang mendapat hasil sebesar-besarnya dengan pengeluaran. Usaha dan alat sesedikit mungkin, maka ia bertindak ekonomis rasional.

Para ahli, merumuskan ekonomi sebagai usaha dan tindakan manusia untuk mencukupi kebutuhannya akan benda-benda, yang terbatas jumlahnya. Tujuan setiap ekonomi adalah untuk menciptakan keseimbangan tetap antara kebutuhan dan persediaan. Karena baik jumlah penduduk dan konsumsi senantiasa bertambah, maka kebutuhan terus-menerus meningkat.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan keadilan dalam bidang ekonomi adalah satu keadaan atau situasi di mana setiap orang memperoleh apa yang menjadi haknya. Ini lantas berarti bahwa keadilan dalam bidang ekonomi adalah perlakuan yang adil bagi setiap orang untuk mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan kebutuhan dan potensi yang ada.

II.   Realitas Ketidakadilan dalam bidang Ekonomi di Indonesia

Dalam sejarahnya masyarakat Indonesia mengalami berbagai cara pengaturan ekonomi. Sebelum penjajahan Belanda dan Jepang, rupanya ada semacam sistem pengaturan yang bercorak feodal sesuai dengan sistem sosial kemasyarakatan yang ternyata tumbuh waktu itu. Sistem itu tampaknya cukup memuaskan semua pihak: yang di atas mendapat banyak hak tetapi juga memberikan banyak, yang di bawah mendapat sedikit tetapi toh merasa bahagia karena dilindungi. Di kalangan rakyat sendiri terasakan ketenteraman serta kesamaan nasib, bebas dari persaingan maupun kecemburuan sosial, sebab kemakmuran mereka rata-rata sama saja. Bahwa para rakyat itu kaya, itu mereka maklumi, bahkan mereka dukung dengan senang hati. Kalau raja makmur, mereka kan juga bangga!

Dengan kedatangan penjajah Belanda, sistem feodal itu di beberapa tempat “didampingi” dengan usaha-usaha dan pengaturan ekonomi “kapitalis”. Orang-orang Belanda memanfaatkan kekuasaan politis mereka untuk mencari keuntungan besar melalui perusahaan-perusahaan besar maupun melalui peraturan-peraturan yang menunjang usaha itu. Sementara itu, sistem feodal masih dibiarkan berjalan di banyak tempat, karena tidak dirasakan sebagai penghalang yang berarti bagi usaha kapitalis mereka.

Menurut banyak pengamat, dua sistem ekonomi masyarakat tersebut bertahan cukup lama setelah kemerdekaan. Memang, secara teoretis telah diusahakan perencanaan ekonomi masyarakat berdasarkan sistem-sistem ekonomi klasik, kadang-kadang sistem pasar bebas, kadang-kadang sistem ekonomi komando. Tetapi dalam kenyataan yang sesungguhnya rupanya sistem feodal dan sistem kapitalis itulah yang lebih berjaya. Bahkan ada yang menyatakan bahwa hal itu masih berlaku sampai sekarang, walaupun “yang di atas” dan “yang berkapital” bukan lagi para raja atau tuan-tuan Belanda, melainkan penguasa-penguasa politik dan ekonomi yang baru.

Sistem foedal dan sistem kapitalis bagi kita yang secara sepihak akan mengatakan bahwa kedua sistem itu bukanlah sistem yang tepat dan adil sebab masih ada yang mengalami kemelaratan dan perlakuaan yang tidak adil. Tapi itu adalah sejarah yang terjadi di masa lalu. Lantas bagaimana dengan keadaan ekonomi kita sekarang ini? Sudahkah masyarakat kita hidup dalam kemakmuran dan keadilan? .

Hidup dalam kemakmuran dan keadilan nampaknya adalah satu mision imposible, tapi rasa-rasanya bisa saja mungkin. Argumen kami tentang keadilan dan kemakmuran adalah satu misi yang tidak mungkin karena kami melihat realitas dunia terlebih yang ada di Indonesia masih banyak terjadi kepincangan dalam berbagai segi kehidupan masyarakat, teristimewa dalam segi ekonomi. Dalam sejarah perekonomian kita telah terjadi banyak penyimpangan dan penyesatan yang menyebabkan banyak masyarakat mengalami kemelaratan dan bahkan kemiskinan. Kemelaratan ini disebabkan oleh ketidakadilan.

Konsumerisme telah mengakibatkan banyak kaum lemah merasa dirugikan. Seperti halnya dengan adanya perlakuan yang tidak adil terhadap kaum buruh, upah yang rendah. Ini merupakan satu contoh konkret dari bentuk ketidakadilan yang terjadi. Upah yang terlalu rendah berarti buruh tidak mendapatkan atau memperoleh bagian yang wajar dari nilai yang diciptakannya dalam pekerjaannya. Jadi buruh hanya memperoleh sebagian dari pekerjaannya, sisanya diambil oleh majikan, inilah ketidakadilan.

Namun, majikan dengan rasionalisasi berargumen bahwa hubungan antara buruh dan majikan berdasarkan suatu kontrak yang bebas dan karena itu dianggap adil, padahal buruh tidak mempunyai pilihan lain karena harus hidup. Karena buruh terjepit tenaganya bisa dihisap atau dikerut. Contoh perlakuan terhadap kaum buruh ini hanya merupakan salah satu contoh ketidakadilan yang terjadi di bidang ekonomi, contoh-contoh lain seperti komersialisme para TKW dan gadis-gadis yang dijadikan wanita penghibur, kenaikan harga barang yang tidak sesuai dengan pendapatan masyarakat, khususnya masyarakat kecil dan marginal.

Sadar atau tidak sadar, de facto telah terjadi banyak ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat.

Pertanyaannya sekarang: Apakah keadaan terpuruk seperti ini dapat diatasi? Realitas di atas telah menunjukkan secara jelas bahwa pertanyaan ini telah digumuli sejak dahulu kala. Namun hasilnya masih tetap sama saja. Akar permasalahannya kirannya jelas bahwa terjadi suatu praktek ketidakadilan dalam bidang ekonomi. Lantas, apa yang hendak diperbuat untuk mengatasi realitas ketidakadilan tersebut? Pertanyaan ini mengacu pada suatu pertanyaan lanjutan: Bagaimana dapat mewujudkan keadilan itu? Pokok ini akan dibahas secara khusus dalam bagian berikut.

III. Mewujudkan Keadilan dalam bidang Ekonomi

Keadilan dalam bidang ekonomi merupakan bagian dari keadilan sosial. Keadilan sosial seperti yang telah dipaparkan dalam pertama, yakni keadilan yang pelaksanaanya tergantung dari struktur-struktur kekuasan dalam masyarakat. Maka membangun keadilan sosial berarti menciptakan struktur-struktur yang memungkinkan pelaksanaan keadilan. Struktur-stuktur itu menyangkut bidang politik, ekonomi, hukum, budaya, pertahanan dan keamanan. Untuk mewujudkan keadilan sosial itu berarti bahwa keadilan dalam bidang ekonomi pun harus terwujud.

Dalam batang tubuh UUD’45 pasal 33 dengan bagus diungkapkan dua ketentuan yang amat penting: suatu pembatasan hak milik pribadi mutlak terhadap alat-alat produksi, dan suatu penetapan  tujuan dan tanggung jawab usaha ekonomi yang harus dijamin oleh negara, ialah sebesar-besarnya oleh kemakmuran rakyat. Pernyataan dalam UUD’45 ini secara jelas dan dengan resmi menetapkan bahwa pembangunan ekonomi harus demi untuk kesejahteraan rakyat. Ini berarti bahwa pembangunan yang terjadi hanya demi kepentingan pribadi atau golongan secara ekstrim dapat dikatakan tidak adil atau tidak sesuai dengan komitmen kebangsaan.

Keadilan dalam bidang ekonomi hanya akan terwujud apabila orang menyadari akan pentingnya keadilan itu sendiri bagi kehidupan, bukan hanya sekedar menyadarinya namun mengamalkannya. Hal pertama yang perlu dicermati dan dipahami adalah landasan hukumnya. Dalam pasal 33 UUD’45 termaktub 5 ciri sistem perekonomian Pancasila, yakni:

Pertama, dalam sistem ekonomi pancasila koperasi adalah sokoguru perekonomian.
Kedua, perekonomian Pancasila digerakkan oleh ransangan-ransangan ekonomi, sosial dan yang palin penting adalah moral.
Ketiga, perekonomian Pancasila ada hubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam perekonomian Pancasila terdapat solidaritas sosial;
Keempat, perekonomian Pancasila berkaitan erat dengan Persatuan Indonesia, yang berarti nasionalisme menjiwai tiap kebijakan ekonomi.
Kelima, sistem perekonomian Pancasila tegas dan jelas adanya keseimbangan antara perencanaan sentral dengan tekanan dan desentralisasi di dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Jelaslah bahwa perekonomian diatur dalam perudang-undangan dan untuk itu perlulah untuk ditaati dan diamalkan dalam setiap segi kehidupan.

Ada beberapa hal yang kiranya boleh menjadi solusi bagi perwujudan keadilan dalam bidang ekonomi:

Pertama-tama perlulah dirumuskan apa yang menjadi tujuan suatu usaha untuk menciptakan suatu keadilan ekonomi. Penghapusan ketidakadilan yang paling kasar kami anggap sebagai suatu yang adil yang harus menjadi tujuan pembangunan yang paling pertama. menurut hemat kami, keadilan sekurang-kurangnya menuntut agar diubah struktur-struktur yang memaksa seseorang untuk tetap miskin dan yang membuatnya sedemikian tak berdaya sehingga ia menjadi korban segala macam penindasan. Jadi penghapusan syarat-syarat yang mengabdikan kemiskinan dan penindasan terhadap orang lemah itulah yang kami anggap tujuan terpenting dan paling pertama dalam setiap usaha untuk mengubah masyarakat.

Kiranya perlu diadakan penilaian kembali terhadap fungsi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan yang cepat justru sering memperkaya mereka yang sudah kaya. Maka perlu diusahakan suatu pertumbuhan ekonomi di mana pembagian hasil-hasilnya yang lebih adil sudah termasuk struktur produksi.

Perlu dipikirkan kembali apa yang seharusnya menjadi tujuan suatu pembangunan yang mau menciptakan prasarana-prasarana bagi perkembangan anggota-anggota masyarakat sebagai manusia-manusia yang utuh.

Ketidakadilan ekonomi sebenarnya telah tertanam dalam struktur proses-proses politik, sosial, budaya dan ideologi suatu masyarakat. Struktur-struktur itu sudah disusun dan terbangun sedemikian rupa sehingga menjamin kelestarian kekuasaan struktur itu, dengan kata lain, menjamin jalur-jalur penghisapan tenaga kerja golongan-golongan bawah dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidak mungkin diharapkan pembongkaran struktur-struktur hanyalah berdasarkan kesadaran golongan atas. Tidak mungkin suatu golongan memotong dalam tempat duduknya sendiri. Hanya kalau masyarakat dapat mengartikulasikan diri, dapat menyatakan pendapat, keinginan, kehendak, dan kritik mereka, maka struktur-struktur yang lebih adil dapat tercipta.

Itulah kiranya beberapa pokok pikiran yang dapat kami berikan sebagai bantuan untuk mengatasi masalah ketidakadilan dalam bidang ekonomi.

Penutup

Berbicara mengenai keadilan dalam bidang ekonomi, khususnya di negara kita ibarat mengunyah sebuah permen karet; tak pernah habis terlarut dalam mulut. Oleh karena itu, hal yang hanya dapat dilakukan adalah ketika kita sudah jenuh untuk mengunyah maka segera akan membuangnya. Demikian halnya dengan masalah keadilan dalam bidang ekonomi. Masalah ini telah lama dibicarakan oleh banyak pihak, namun hingga kini masalah ketidakadilan itu tetap ada. Kirannya jelas bahwa yang menjadi persoalan bukanlah sukar untuk mencari solusi melainkan kejenuan dan keterlibatan dirilah yang menyebabkan masalah ketidakadilan ini sering terabaikan.  Kita telah melihat bahwa hanya penegakan hukum dan perubahan dalam semua lapisanlah yang dapat memungkinkan terjadi suatu perubahan. Oleh karena itu, marilah kita berjuang bersama untuk hal itu.

Kepustakaan

Banawiratma, Aspek-Aspek Teologi Sosial, Jogjakarta: Kanisius 1988

Boendiono, Ekonomi Internasional, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM 1981

Djoko Widagdho, Drs. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara

Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Pancasila, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka 1973

Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jilid I), Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka 1990

Ismael Saleh, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1990

Komisi Kateketik KWI, Persekutuan Murid-Murid Yesus, Yogyakarta: Kanisius 2004

Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia 1986

Malingkas Melky, Traktat Kuliah Filsafat Sosial, STF-SP 2005

Sabine.G.H. Teori-teori Politik. Jakarta: Binacipta.1963

Winardi, Politik Ekonomi,  Bandung: Tarsito 1976

[1] Bdk. Djoko Widagdho, Drs. Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Hlm 123-125.

[2] Sabine.G.H. Teori-teori Politik. Jakarta: Binacipta.1963. Hlm 55.

[3] Suseno, Magnis. F. Dr. Kuasa dan Moral. Jakarta:Gramedia 1986. Hlm 44-45

[4] Malingkas Melky SS. Traktat Filsafat Sosial. 2005. Hlm 37-39
 
Kesimpulan

Daftar pustaka

0 komentar:

Post a Comment

Untuk Request Materi Lain, Silahkan Tuliskan di Kolom Komentar