Ayat Ekonomi tentang Etika Ekonomi
(Penegakkan Hukum di Bidang Ekonomi)
QS. al-Baqarah (2) : 188
Terjemah
188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Tafsir Ayat
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang (yang punya piutang) tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada di pihak yang salah (berdosa) dan memakan harta haram.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim."
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Ingatlah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan sesungguhnya sering datang kepadaku orang-orang yang mengadukan perkaranya. Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan alasannya daripada lawannya, karena itu aku memutuskan perkara untuknya.
Barang siapa yang telah kuputuskan buatnya menyangkut masalah hak seorang muslim, pada hakikatnya hal itu hanyalah merupakan sepotong api neraka; karena itu, hendaklah seseorang menyanggahnya atau meninggalkannya.
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh mengubah hakikat sesuatu —dengan kata lain, tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram— melainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriahnya. Untuk itu apabila keputusannya bersesuaian dengan hakikat permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak bersesuaian dengan hakikat permasalahan, maka si hakim hanya memperoleh pahalanya, sedangkan yang menanggung dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan:
Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 188)
Yakni kalian mengetahui kebatilan dari apa yang kalian dakwakan dan kalian palsukan melalui ucapan kalian.
Qatadah mengatakan, "Ketahuilah, hai anak Adam, bahwa keputusan kadi itu tidak menghalalkan yang haram bagimu dan tidak pula membenarkan perkara yang batil. Sesungguhnya dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang dia lihat melalui kesaksian para saksi. Kadi adalah seorang manusia, dia terkadang keliru dan terkadang benar.
Ketahuilah bahwa barang siapa yang diputuskan suatu perkara untuk kemenangannya dengan cara yang batil, maka perkaranya itu masih tetap ada hingga Allah menghimpunkan di antara kedua belah pihak di hari kiamat, lalu Allah memutuskan perkara buat kemenangan orang yang hak atas orang yang batil itu dengan keputusan yang lebih baik daripada apa yang telah diputuskan buat kemenangan si batil atas pihak yang hak sewaktu di dunia."
Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
Praktik risywah, gratifikasi dan kick back
RISWAH (SUAP) DALAM PANDANGAN ISLAM
Rasulullah bersabda; Allah melaknat orang yang melakukan suap dan menerima suap . (HR.Ibnu Majah)
Sauban berkata; Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara, yaitu orang yang menghubungkan keduanya. (Hr. ahmad)
Kata (risywah) secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan penyuapan risywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain.
Definisi lain tentang risywah sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Rumusan tersebut dikenal dengan urusan ‘isti’jal fi al-qadhiyah’ yakni usaha untuk menyegerakan pengurusan masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlaku karena ingin cepat proses pengurusannya.
Risywah dilarang karena dapat mengakibatkan hancurnya tata nilai dan system hukum. Sebagaimana pendapat Umar Ibn al-Khatab yang melarang para pejabat menerima hadiah, karena pada hakekatnya hadiah itu risywah. Begitu pula pendapatnya tentang harta risywah tidak boleh dikembalikan kepada pelakunya, terlebih lagi bagi penerimanya, tetapi harus diinfaqkan untuk sabilillah.
Dari pengertian tersebut diatas , bahwa risywah sepadan dengan kata sogok dalam bahasa Indonesia. Sungguhpun demikian risywah tidak sepenuhnya indentik dengan korupsi karena korupsi mengandung cakupan lebih luas, korupsi yang dikenal pada saat ini mencakup beragam bentuk penyalahgunaan wewenang termasuk penyalahgunaan yang tidak ada unsur suapnya.
Dengan kata lain risywah tidak persis sama dengan korupsi, namun salah satu bentuk ekspresi korupsi dan dapat mengakibatkan hancurnya system nilai dan system hukum yang berlaku di masyarakat. Seperti menyegerakan masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlaku .
Gratifikasi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, “hadiah” adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan. Dan memiliki hukum mubah atau boleh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Daud dari Aisyah r.a berkata :
كَانَ النَّبِي صَلَّى اللُه عَلَيْهِ وسَلَّمَ يَقْبَلُ الهَدِيَّة وَ يُنِيْبُ عَلَيْهَا
“Pernah Nabi Saw menerima hadiah dan balasannya hadiah itu”
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa Nabi pernah menerima hadiah dan membalasnya dengan hadiah yang sama. Dan ada pula sebagian ulama yang mengatakan tidak boleh untuk menolak hadiah yang telah diberikan, dalil yang dijadikan pegangan oleh sebagian ulama tersebut adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:
لَوْ دُعِيْتُ إِلَى ذِرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْ اُهُدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ اَوْ كِرَاعٌ لَقَبِلْتُ
“Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya.”
Namun, jika dilihat dari hadiah atau gratifikasi yang mana menimbulkan kerugian pada seseorang, maka masalah tersebut dapat masuk dalam kaidah saddu dzari'ah, karena pemberian hadiah atau gratifikasi tersebut disalahgunakan dalam arti untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan banyak orang.
Dan dalam hal ini, gratifikasi atau hadiah tersebut dapat dikategorikan sebagai suap, dan suap adalah pekerjaan yang sangat dilaknat oleh Allah, seperti sabda Rasulullah:
لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الرَّاشِى وَ المُرْتَشِى
“Laknat Allah bagi orang yang menyuap dan menerima suap”
Bukan hanya bagi orang yang menerima suap tetapi juga kepada orang yang memberi suap akan dilaknat oleh Allah SWT. Ini disebabkan oleh sejumlah uang atau barang yang tidak bernilai di sisi Allah.
Pemaknaan gratifikasi sekarang dengan pengertian hadiah dalam Islam sangat bertolak belakang pada zaman sekarang. Hadiah dalam Islam yang bertujuan untuk saling tolong menolong dan saling memuliakan. Sedang gratifikasi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan menjatuhkan orang lain.
Akibat gratifikasi ini adalah ketidakadilan dan hilangnya kebijaksanaan dari para pemerintah, pejabat Negara. Gratifikasi juga dapat dikatakan sebagai perbuatan dhalim terhadap Negara. Karena itu, tidak salah jika pemerintah melarang adanya gratifikasi. Melihat dari kemaslahatan dan kemudharatan yang ditimbulkan oleh gratifikasi ini, maka Islam mengharamkan adanya gratifikasi.
Dalam syari'at Islam Kedhzoliman yang dilakukan oleh seorang penguasa, wajib dipertanggungjawabkan. Dengan upaya memaksa para pengawas pejabat yang berlaku curang untuk melakukan tindakan tegas demi tercapainya sebuah keadilan. Bukan hannya dengan menegakkan hukum tetapi mengantisipasi sebelum terjadinya hal yang tidak diinginkan.
Dan sudah seharusnya para pejabat memegang sifat amanah disituasi perpolitikan bangsa indonesia yang semakin kacau. Dengan situasi yang semacam ini tentu sangat rentan terjadinya praktik gratifikasi. Sifat amanahlah yang harus menjadi pegangan ketika menjabat di pemerintahan. Rasulullah bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا اَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلُ
“Barang siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan, kemudian kami rezekikan kepadanya dengan suatu rezeki (tertentu), maka apa yang dia ambil setelah rezeki (itu), itu adalah pengkhianatan.”
Gratifikasi digolongkan sebagai salah satu bentuk dari korupsi. Sedangkan korupsi di Indonesia sendiri seakan sebagai budaya yang sulit dihilangkan. Transparansi media saat ini cukup membongkar semua pelaku korupsi dengan bermacam-macam latar belakang. Di dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
وَ لَا تَآْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَ تُدْلُوْا بِهَا اِلَى الْحُكَّامِ لِتَآْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالاِثْمِ وَ اَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dari uraian panjang di atas tentu yang menjadi masalah pokok adalah gratifikasi. Hukum Islam sudah secara jelas baik Qur'an dan Sunnah melarang adanya gratifikasi dengan maksud tertentu. Karna gratifikasi masuk dalam kategori korupsi maka sangatlah jelas untuk dihilangkan. Dan dilihat dari kemaslahatan gratifikasi tidak memberikan banyak kemaslahatan banyak orang melainkan kepentingan pribadi.
Persekongkolan jahat para penegak hukum
Kesimpulan
Daftar Pustaka
(Penegakkan Hukum di Bidang Ekonomi)
QS. al-Baqarah (2) : 188
Terjemah
188. Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
Tafsir Ayat
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ
تَعْلَمُونَ (188) }
Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang (yang punya piutang) tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya dan mengadukan perkaranya kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan dengan perkara yang hak, dan bahwa dirinya berada di pihak yang salah (berdosa) dan memakan harta haram.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, As-Saddi, Muqatil ibnu Hayyan, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, bahwa mereka pernah mengatakan, "Janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim."
Telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"أَلَا
إِنَّمَا أَنَا بَشَر، وَإِنَّمَا يَأْتِينِي الْخِصْمُ فَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ
يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي لَهُ، فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ
بِحَقِّ مُسْلِمٍ، فَإِنَّمَا هِيَ قِطْعَةٌ مِنْ نَارٍ، فَلْيَحْملْهَا، أَوْ
ليذَرْها"
Ingatlah, sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, dan sesungguhnya sering datang kepadaku orang-orang yang mengadukan perkaranya. Barangkali sebagian dari kalian lebih pandai dalam mengemukakan alasannya daripada lawannya, karena itu aku memutuskan perkara untuknya.
Barang siapa yang telah kuputuskan buatnya menyangkut masalah hak seorang muslim, pada hakikatnya hal itu hanyalah merupakan sepotong api neraka; karena itu, hendaklah seseorang menyanggahnya atau meninggalkannya.
Ayat dan hadis ini menunjukkan bahwa keputusan hakim tidak boleh mengubah hakikat sesuatu —dengan kata lain, tidak dapat mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram— melainkan dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang tampak pada lahiriahnya. Untuk itu apabila keputusannya bersesuaian dengan hakikat permasalahan, memang demikianlah yang diharapkan. Jika keputusannya itu tidak bersesuaian dengan hakikat permasalahan, maka si hakim hanya memperoleh pahalanya, sedangkan yang menanggung dosanya ialah pihak yang memalsukan tanda bukti dan melakukan kecurangan dalam perkaranya. Karena itu, dalam ayat ini disebutkan:
{وَلا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى
الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ
أَمْوَالِ النَّاسِ بِالإثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan janganlah sebagian dari kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 188)
Yakni kalian mengetahui kebatilan dari apa yang kalian dakwakan dan kalian palsukan melalui ucapan kalian.
Qatadah mengatakan, "Ketahuilah, hai anak Adam, bahwa keputusan kadi itu tidak menghalalkan yang haram bagimu dan tidak pula membenarkan perkara yang batil. Sesungguhnya dia hanya memutuskan berdasarkan apa yang dia lihat melalui kesaksian para saksi. Kadi adalah seorang manusia, dia terkadang keliru dan terkadang benar.
Ketahuilah bahwa barang siapa yang diputuskan suatu perkara untuk kemenangannya dengan cara yang batil, maka perkaranya itu masih tetap ada hingga Allah menghimpunkan di antara kedua belah pihak di hari kiamat, lalu Allah memutuskan perkara buat kemenangan orang yang hak atas orang yang batil itu dengan keputusan yang lebih baik daripada apa yang telah diputuskan buat kemenangan si batil atas pihak yang hak sewaktu di dunia."
Praktik risywah, gratifikasi dan kick back
RISWAH (SUAP) DALAM PANDANGAN ISLAM
Rasulullah bersabda; Allah melaknat orang yang melakukan suap dan menerima suap . (HR.Ibnu Majah)
Sauban berkata; Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap dan perantara, yaitu orang yang menghubungkan keduanya. (Hr. ahmad)
Kata (risywah) secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarsyu-risywatan yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi. Sedangkan penyuapan risywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan yang semisalnya untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas hak milik pihak lain.
Definisi lain tentang risywah sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim atau lainnya agar orang tersebut mendapatkan kepastian hukum atau sesuatu yang diinginkannya. Rumusan tersebut dikenal dengan urusan ‘isti’jal fi al-qadhiyah’ yakni usaha untuk menyegerakan pengurusan masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlaku karena ingin cepat proses pengurusannya.
Risywah dilarang karena dapat mengakibatkan hancurnya tata nilai dan system hukum. Sebagaimana pendapat Umar Ibn al-Khatab yang melarang para pejabat menerima hadiah, karena pada hakekatnya hadiah itu risywah. Begitu pula pendapatnya tentang harta risywah tidak boleh dikembalikan kepada pelakunya, terlebih lagi bagi penerimanya, tetapi harus diinfaqkan untuk sabilillah.
Dari pengertian tersebut diatas , bahwa risywah sepadan dengan kata sogok dalam bahasa Indonesia. Sungguhpun demikian risywah tidak sepenuhnya indentik dengan korupsi karena korupsi mengandung cakupan lebih luas, korupsi yang dikenal pada saat ini mencakup beragam bentuk penyalahgunaan wewenang termasuk penyalahgunaan yang tidak ada unsur suapnya.
Dengan kata lain risywah tidak persis sama dengan korupsi, namun salah satu bentuk ekspresi korupsi dan dapat mengakibatkan hancurnya system nilai dan system hukum yang berlaku di masyarakat. Seperti menyegerakan masalah hukum, termasuk pengurusan masalah lainnya tanpa melalui prosedur yang berlaku .
Gratifikasi dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, “hadiah” adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya penggantian dengan maksud memuliakan. Dan memiliki hukum mubah atau boleh, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Abu Daud dari Aisyah r.a berkata :
كَانَ النَّبِي صَلَّى اللُه عَلَيْهِ وسَلَّمَ يَقْبَلُ الهَدِيَّة وَ يُنِيْبُ عَلَيْهَا
“Pernah Nabi Saw menerima hadiah dan balasannya hadiah itu”
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa Nabi pernah menerima hadiah dan membalasnya dengan hadiah yang sama. Dan ada pula sebagian ulama yang mengatakan tidak boleh untuk menolak hadiah yang telah diberikan, dalil yang dijadikan pegangan oleh sebagian ulama tersebut adalah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi Saw bersabda:
لَوْ دُعِيْتُ إِلَى ذِرَاعٍ لَاَجَبْتُ وَلَوْ اُهُدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ اَوْ كِرَاعٌ لَقَبِلْتُ
“Kalau aku diundang untuk menyantap kaki kambing depan dan belakang, niscaya aku penuhi dan kalau dihadiahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya aku menerimanya.”
Namun, jika dilihat dari hadiah atau gratifikasi yang mana menimbulkan kerugian pada seseorang, maka masalah tersebut dapat masuk dalam kaidah saddu dzari'ah, karena pemberian hadiah atau gratifikasi tersebut disalahgunakan dalam arti untuk memperkaya diri sendiri dan dapat merugikan banyak orang.
Dan dalam hal ini, gratifikasi atau hadiah tersebut dapat dikategorikan sebagai suap, dan suap adalah pekerjaan yang sangat dilaknat oleh Allah, seperti sabda Rasulullah:
لَعْنَةَ اللهِ عَلَى الرَّاشِى وَ المُرْتَشِى
“Laknat Allah bagi orang yang menyuap dan menerima suap”
Bukan hanya bagi orang yang menerima suap tetapi juga kepada orang yang memberi suap akan dilaknat oleh Allah SWT. Ini disebabkan oleh sejumlah uang atau barang yang tidak bernilai di sisi Allah.
Pemaknaan gratifikasi sekarang dengan pengertian hadiah dalam Islam sangat bertolak belakang pada zaman sekarang. Hadiah dalam Islam yang bertujuan untuk saling tolong menolong dan saling memuliakan. Sedang gratifikasi yang bertujuan untuk memperkaya diri sendiri dan menjatuhkan orang lain.
Akibat gratifikasi ini adalah ketidakadilan dan hilangnya kebijaksanaan dari para pemerintah, pejabat Negara. Gratifikasi juga dapat dikatakan sebagai perbuatan dhalim terhadap Negara. Karena itu, tidak salah jika pemerintah melarang adanya gratifikasi. Melihat dari kemaslahatan dan kemudharatan yang ditimbulkan oleh gratifikasi ini, maka Islam mengharamkan adanya gratifikasi.
Dalam syari'at Islam Kedhzoliman yang dilakukan oleh seorang penguasa, wajib dipertanggungjawabkan. Dengan upaya memaksa para pengawas pejabat yang berlaku curang untuk melakukan tindakan tegas demi tercapainya sebuah keadilan. Bukan hannya dengan menegakkan hukum tetapi mengantisipasi sebelum terjadinya hal yang tidak diinginkan.
Dan sudah seharusnya para pejabat memegang sifat amanah disituasi perpolitikan bangsa indonesia yang semakin kacau. Dengan situasi yang semacam ini tentu sangat rentan terjadinya praktik gratifikasi. Sifat amanahlah yang harus menjadi pegangan ketika menjabat di pemerintahan. Rasulullah bersabda:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا اَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُوْلُ
“Barang siapa yang kami pekerjakan untuk suatu pekerjaan, kemudian kami rezekikan kepadanya dengan suatu rezeki (tertentu), maka apa yang dia ambil setelah rezeki (itu), itu adalah pengkhianatan.”
Hadits lain Rasul bersabda: “Hadiah-hadiah untuk pekerja itu
pengkhianatan.” Dari hadits tersebut telah jelas menerangkan segala
bentuk hadiah yang diberikan kepada para pejabat atau pegawai tidak
diperbolehkan.
Gratifikasi digolongkan sebagai salah satu bentuk dari korupsi. Sedangkan korupsi di Indonesia sendiri seakan sebagai budaya yang sulit dihilangkan. Transparansi media saat ini cukup membongkar semua pelaku korupsi dengan bermacam-macam latar belakang. Di dalam Al-Qur'an Allah berfirman:
وَ لَا تَآْكُلُوْا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَ تُدْلُوْا بِهَا اِلَى الْحُكَّامِ لِتَآْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالاِثْمِ وَ اَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ
“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
Dari uraian panjang di atas tentu yang menjadi masalah pokok adalah gratifikasi. Hukum Islam sudah secara jelas baik Qur'an dan Sunnah melarang adanya gratifikasi dengan maksud tertentu. Karna gratifikasi masuk dalam kategori korupsi maka sangatlah jelas untuk dihilangkan. Dan dilihat dari kemaslahatan gratifikasi tidak memberikan banyak kemaslahatan banyak orang melainkan kepentingan pribadi.
Kickback
Kickback merupakan suatu bagian ofisial dari dana yang digelapkan dari alokasi untuk organisasinya. Sebuah contoh sederhana untuk pemahaman lebih dalam mengenai kickback adalah, seorang pejabat diberi wewenang dalam mengelola dana untuk pengadaan barang/jasa suatu instansi pemerintah. Dia dapat memberikan kontrak kepada sebuah perusahaan yang bukan merupakan penawar terbaik, dan mengalokasikan dana lebih dari yang seharusnya diterima perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan memperoleh keuntungan dan sebagai pertukaran atas nilai kontrak tersebut, pejabat yang berwenang memperoleh pembayaran balik dari perusahaan, yang merupakan bagian dari jumlah kontrak yang diterima perusahaan.
Kickback merupakan suatu bagian ofisial dari dana yang digelapkan dari alokasi untuk organisasinya. Sebuah contoh sederhana untuk pemahaman lebih dalam mengenai kickback adalah, seorang pejabat diberi wewenang dalam mengelola dana untuk pengadaan barang/jasa suatu instansi pemerintah. Dia dapat memberikan kontrak kepada sebuah perusahaan yang bukan merupakan penawar terbaik, dan mengalokasikan dana lebih dari yang seharusnya diterima perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan memperoleh keuntungan dan sebagai pertukaran atas nilai kontrak tersebut, pejabat yang berwenang memperoleh pembayaran balik dari perusahaan, yang merupakan bagian dari jumlah kontrak yang diterima perusahaan.
Kickback tidak terbatas hanya pada
organisasi atau instansi pemerintah, tetapi untuk semua entitas dan
semua kondisi dimana orang-orang dipercaya untuk mengelola dana dan ikut
menikmati sebagian dari dana tersebut, padahal dana tersebut bukan
merupakan miliknya. Oleh karena itu, kickback termasuk ke dalam kategori
korupsi.
Persekongkolan jahat para penegak hukum
Kesimpulan
Daftar Pustaka
0 komentar:
Post a Comment
Untuk Request Materi Lain, Silahkan Tuliskan di Kolom Komentar