Ayat Ekonomi tentang Riba
(Riba dan Pokok Harta)
QS. al-Baqarah (2) : 278-280
Terjemah :
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan melarang mereka melakukan hal-hal yang mendekatkan mereka kepada kemurkaan-Nya dan hal-hal yang menjauhkan diri mereka dari rida-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 278)
Yakni takutlah kalian kepada-Nya dan ingatlah selalu bahwa kalian selalu berada di dalam pengawasan-Nya dalam semua perbuatan kalian.
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut). (Al-Baqarah: 278)
Maksudnya, tinggalkanlah harta kalian yang ada di tangan orang lain berupa lebihan dari pokoknya sesudah adanya peringatan ini.
jika kalian orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278)
Yaitu jika kalian beriman kepada apa yang disyariatkan oleh Allah buat kalian, yaitu penghalalan jual beli dan pengharaman riba, serta lain-lainnya.
Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Juraij, Muqatil ibnu Hayyan, serta As-Saddi telah mengatakan bahwa konteks ini diturunkan berkenaan dengan Bani Amr ibnu Umair dari kalangan Bani Saqif, dan Banil Mugirah dari kalangan Bani Makhzum; di antara mereka terjadi transaksi riba di masa Jahiliah.
Ketika Islam datang, lalu mereka memeluknya, maka Bani Saqif melakukan tagihannya kepada Bani Mugirah, yaitu meminta lebihan dari pokok harta mereka (bunganya). Maka orang-orang Bani Mugirah mengadakan musyawarah, akhirnya mereka memutuskan bahwa mereka tidak akan membayar riba (bunga) itu dalam Islam, sebab usaha mereka telah Islam. Lalu Attab ibnu Usaid yang menjadi Naib Mekah berkirim surat kepada Rasulullah Saw., menanyakan masalah tersebut, lalu turunlah ayat ini. Jawaban dari Rasulullah Saw. kepada Usaid berisikan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 278-279) Maka mereka mengatakan, "Kami bertobat kepada Allah dan kami tinggalkan semua sisa riba." Lalu mereka meninggalkan perbuatan riba mereka. Ayat ini merupakan ancaman yang keras dan peringatan yang tegas terhadap orang-orang yang masih menetapi perbuatan riba sesudah adanya peringatan.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah diketahui oleh mereka adanya perang. (Al-Baqarah: 279); Yakni hendaklah mereka mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya memerangi mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan melalui riwayat Rabiah ibnu Ummu Kalsum, dari ayahnya, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dikatakan kepada orang yang memakan riba kelak di hari kiamat, "Ambillah senjatamu untuk berperang." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 279)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 279) Bahwa barang siapa yang masih tetap menjalankan riba dan tidak mau menanggalkannya, maka sudah merupakan kewajiban bagi Imam kaum muslim untuk memerintahkan bertobat kepadanya. Jika ia mau bertobat, maka bebaslah ia; tetapi jika masih tetap, maka lehernya dipukul (yakni dipancung).
Ibnu Abu Hatim (yaitu Ali ibnul Husain) meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hasan, dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin, bahwa keduanya pernah mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya bankir-bankir itu benar-benar orang-orang yang memakan riba.
Sesungguhnya mereka telah mempermaklumatkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seandainya orang-orang dipimpin oleh seorang imam yang adil, niscaya imam diwajibkan memerintahkan mereka untuk bertobat. Jika mereka mau bertobat, maka bebaslah mereka; tetapi jika mereka tetap melakukan perbuatan riba, maka dipermaklumatkan perang terhadap mereka.
Qatadah mengatakan bahwa Allah mengancam mereka untuk berperang seperti yang telah mereka dengar, dan Allah menjadikan mereka boleh diperangi di mana pun mereka berada. Maka jangan sekali-kali melakukan transaksi riba ini, karena sesungguhnya Allah telah meluaskan usaha yang halal dan menilainya baik. Karena itu, janganlah sekali-kali kalian menyimpang dan berbuat durhaka kepada Allah Swt. karena takut jatuh miskin. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah mengancam orang yang memakan riba dengan perang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
As-Suhaili mengatakan, "Oleh karena itulah Siti Aisyah mengatakan kepada Ummu Mahbah —budak perempuan Zaid ibnu Arqam yang telah dimerdekakan (oleh anaknya)— dalam masalah riba ainiyyah, 'Sampaikanlah kepadanya bahwa jihadnya bersama Rasulullah Saw. telah dihapus (pahalanya) kecuali jika ia bertobat'." Penyebutan jihad dalam asar ini merupakan suatu prioritas, mengingat ia adalah lawan kata dari makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 279)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa pengertian ini banyak dikatakan oleh kalangan ulama. Ia mengatakan pula bahwa tetapi sanad asar ini sampai kepada Siti Aisyah berpredikat daif.
* * *
Kemudian Allah Swt. berfirman:
Dan jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-Baqarah: 279)
Maksudnya, kalian tidak menganiaya orang lain karena mengambil bunga darinya, dan tidak pula dianiaya karena harta pokok kalian dikembalikan tanpa ada tambahan atau pengurangan, melainkan sesuai dengan apa adanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Husain ibnu Asykab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Syabib ibnu Garqadah Al-Mubariqi, dari Sulaiman ibnu Amr ibnul Ahwas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. dalam khotbah haji wada'-nya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya semua riba Jahiliah dihapus dari kalian. Kalian hanyalah pokok dari harta kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya, dan pertama riba yang dihapus ialah riba Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, dihapus seluruhnya. Demikianlah menurut apa yang ditemukan oleh Sulaiman ibnul Ahwas.
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Garqadah, dari Sulaiman ibnu Amr, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya semua riba Jahiliah dihapus. Maka bagi kalian hanyalah pokok dari harta kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Hamzah Ar-Raqqasyi, dari Amr (yakni Ibnu Kharijah), lalu ia menuturkan hadis ini.
* * *
Firman Allah Swt.:
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah masa tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 280)
Allah Swt. memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang berutang yang dalam kesulitan tidak mempunyai apa yang akan dibayarkannya buat menutupi utangnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. (Al-Baqarah: 280)
Tidak seperti apa yang dilakukan di masa Jahiliah, seseorang di antara mereka berkata kepada orang yang berutang kepadanya, "Jika masa pelunasan utangmu telah tiba, maka adakalanya kamu melunasinya atau kamu menambahkan bunganya."
Kemudian Allah menganjurkan untuk menghapuskan sebagian dari utang itu, dan menilainya sebagai perbuatan yang baik dan berpahala berlimpah. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 280).
Artinya, jika kalian menghapuskan semua pokoknya dari tanggungan si pengutang, maka hal itu lebih baik bagi kalian.
Banyak hadis yang menerangkan keutamaan menghapus utang ini yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Nabi Saw.
Hadis pertama diriwayatkan dari Abu Umamah, yaitu As'ad ibnu Zurarah.
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Syu'aib Al-Murjani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hakim Al-Muqawwim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakr Al-Bursani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Asim ibnu Ubaidillah, dari Abu Umamah (yaitu As'ad ibnu Zurarah), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang ingin mendapat naungan dari Allah pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, maka hendaklah ia memberikan kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan atau memaafkan utangnya.
Hadis lain diriwayatkan dari Buraidah.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah mencerftakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Juhadah, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya, bahwa ia' pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan, maka baginya untuk setiap harinya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya. Kemudian Buraidah menceritakan pula bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: "Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang sedang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mendengarmu mengatakan, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya.'
Kemudian aku pernah mendengarmu bersabda, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang dalam kesulitan, maka baginya pahala dua kali lipat sedekah piutangnya untuk setiap harinya'." Beliau Saw. bersabda, "Baginya pahala sedekah sebesar piutangnya untuk setiap harinya sebelum tiba masa pelunasannya. Dan apabila masa pelunasannya tiba, lalu ia menangguhkannya, maka baginya untuk setiap hari pahala dua kali lipat sedekah piutangnya."
Hadis lain diriwayatkan dari Abu Qatadah, yaitu Al-Haris ibnu Rab'i Al-Ansari.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Al-Khatmi, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, bahwa Abu Qatadah mempunyai piutang pada seorang lelaki, dan setiap kali ia datang untuk menagih kepada lelaki itu, maka lelaki itu bersembunyi menghindar darinya. Maka pada suatu hari ia datang untuk menagih, lalu dari rumah lelaki itu keluar seorang anak kecil. Abu Qatadah menanyakan kepada anak itu tentang lelaki tersebut. Si anak menjawab, "Ya, dia berada di dalam rumah sedang makan ubi (makanan orang miskin)." Lalu Abu Qatadah menyerunya, "Hai Fulan, keluarlah, sesungguhnya aku telah tahu bahwa kamu berada di dalam rumah." Maka lelaki itu keluar, dan Abu Qatadah bertanya, "Mengapa engkau selalu menghindar dariku?" Lelaki itu menjawab, "Sesungguhnya aku dalam kesulitan dan aku tidak memiliki sesuatu pun (untuk melunasi utangmu)." Abu Qatadah berkata, "Beranikah kamu bersumpah dengan nama Allah bahwa kamu benar-benar dalam kesukaran?" Ia menjawab, "Ya." Maka Abu Qatadah menangis, kemudian berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang memberikan kelapangan kepada orang yang berutang kepadanya atau menghapuskannya, maka dia berada di bawah naungan Arasy kelak pada hari kiamat. (Riwayat Imam Muslim di dalam kitab sahihnya)
Hadis lain diriwayatkan dari Huzaifah Ibnul Yaman.
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Akhnas (yaitu Ahmad ibnu Imran), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Malik Al-Asyja'i, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihadapkan kepada Allah seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya di hari kiamat, lalu Allah bertanya, "Apakah yang telah engkau amalkan untuk-Ku ketika di dunia?" Ia menjawab, "Aku tidak pernah beramal barang seberat zarrah pun untuk-Mu, wahai Tuhanku, ketika aku di dunia. Maka kumohon Engkau memaafkannya." Hal ini dikatakan oleh si hamba sebanyak tiga kali. Dan pada kalimat terakhirnya si hamba mengatakan, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku harta yang berlimpah, dan aku adalah seorang lelaki yang biasa bermuamalah dengan orang banyak. Dan termasuk kebiasaanku ialah memaafkan; aku biasa memaafkan orang yang dalam kesukaran, dan biasa memberi masa tangguh terhadap orang yang dalam kesulitan." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Allah Swt. berfirman, "Aku lebih berhak untuk memberikan kemudahan, sekarang masuklah engkau ke surga."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah. Sedangkan Imam Muslim menambahkan, dan dari Uqbah ibnu Amir serta Abu Mas'ud Al-Badri, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari, disebutkan bahwa:
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah, bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ada seorang pedagang yang biasa memberikan utang kepada orang-orang. Apabila ia melihat pengutang yang dalam kesulitan, maka ia berkata kepada pesuruh-pesuruhnya, "Maafkanlah dia, mudah-mudahan Allah memaafkan kita." Maka Allah membalas memaafkannya.
Hadis lain diriwayatkan dari Sahl ibnu Hanif.
Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Ya'qub), telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abul Walid (yaitu Hisyam ibnu Abdul Malik), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, dari Abdullah ibnu Sahl ibnu Hanif; Sahl pernah menceritakan hadis kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang membantu orang yang berjihad di jalan Allah, atau orang yang berperang, atau orang yang berutang dalam kesulitannya, atau budak mukatab yang masih dalam ikatan perbudakannya, niscaya Allah akan menaunginya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadis lain diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, dari Yusuf ibnu Suhaib, dari Zaid Al-Ama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang ingin diperkenankan doanya dan dilenyapkan kesusahannya, maka hendaklah ia membebaskan orang yang dalam kesulitan.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadis lain diriwayatkan dari Abu Mas'ud, yaitu Uqbah ibnu Amr.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu Malik, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah, bahwa seorang lelaki dihadapkan kepada Allah Swt., lalu Allah berfirman, "Apakah yang telah engkau amalkan di dunia?" Lelaki itu menjawab, "Aku tidak pernah beramal kebaikan barang seberat zarrah pun." Kalimat ini diucapkannya sebanyak tiga kali, setelah ketiga kalinya, si lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah diberi anugerah harta yang berlimpah oleh-Mu ketika di dunia, dan aku biasa melakukan jual beli dengan orang banyak. Aku selalu memberikan kemudahan kepada orang yang mampu dan biasa memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan." Maka Allah Swt. berfirman: Kami lebih berhak untuk melakukan hal itu daripada kamu, maafkanlah hamba-Ku ini oleh kalian.
Maka diberikan ampunan baginya. Abu Mas'ud mengatakan, "Demikianlah yang aku dengar dari Nabi Saw."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Abu Malik, yaitu Sa'd ibnu Tariq, dengan lafaz yang sama.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imran ibnu Husain.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Al-A'masy, dari Abu Daud, dari Imran ibnu Husain yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mempunyai suatu hak atas seorang lelaki, lalu ia menangguhkannya, maka baginya pahala sedekah untuk setiap hari (penangguhan)nya.
Bila ditinjau dari jalur ini, hadis ini berpredikat garib. Dalam pembahasan yang lalu disebutkan hal yang semisal dari Buraidah.
Hadis lain diriwayatkan dari Abul Yusr, yaitu Ka'b ibnu Amr.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Rab'i yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yusr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan atau memaafkan (utang)nya, kelak Allah Swt. akan menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya.
Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur yang lain, dari hadis Abbad ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang menceritakan, "Aku dan ayahku berangkat keluar untuk menuntut ilmu di kalangan kaum Ansar sebelum mereka tiada. Maka orang yang mula-mula kami jumpai adalah Abul Yusr, sahabat Rasulullah Saw. Ia ditemani oleh seorang pelayannya yang membawa seikat lontar catatan. Abul Yusr saat itu memakai baju burdah mu'afiri, dan pelayannya memakai pakaian yang sama. Lalu ayahku berkata kepada Abul Yusr, 'Wahai pamanku, sesungguhnya aku melihat roman wajahmu terdapat tanda-tanda kemarahan.' Ia menjawab, 'Memang benar, aku mempunyai sejumlah piutang pada si Fulan bin Fulan yang dikenal sebagai ahli memanah. Lalu aku datang kepada keluarganya dan aku bertanya, apakah dia ada di tempat. Keluarganya menjawab bahwa ia tidak ada. Lalu keluar dari rumahnya seorang anaknya yang masih kecil, maka kutanyakan kepadanya, 'Di manakah ayahmu?' Ia menjawab, 'Ia mendengar suaramu, lalu ia memasuki kamar ibuku.' Maka aku berkata, 'Keluarlah kamu untuk menemuiku, sekarang aku telah mengetahui di mana kamu berada.' Maka ia keluar, dan aku bertanya kepadanya, 'Mengapa engkau selalu menghindar dariku dan bersembunyi?' Ia menjawab, 'Demi Allah, aku akan berbicara kepadamu dan tidak akan berdusta. Aku takut, demi Allah, berbicara kepadamu, lalu aku berdusta atau aku menjanjikan kepadamu, lalu aku mengingkarinya, sedangkan aku adalah seorang sahabat Rasulullah Saw. Demi Allah, sekarang aku sedang dalam kesusahan.' Aku berkata, 'Maukah engkau bersumpah kepada Allah?' Ia menjawab, 'Demi Allah.' Kemudian ia mengambil lontarnya, dan menghapusnya dengan tangannya, lalu ia berkata, 'Jika engkau telah punya, maka bayarlah kepadaku; dan jika kamu masih juga tidak punya, maka engkau kubebaskan dari utangmu.' Abul Yusr melakukan demikian karena ia pernah menyaksikan dan melihat dengan kedua matanya seraya mengisyaratkan kedua telunjuknya kepada kedua matanya sendiri dan ia pernah mendengar dengan kedua telinganya, serta hatinya telah menghafalnya dengan baik seraya mengisyaratkan ke arah ulu hatinya bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesusahan atau memaafkan (utang)nya, niscaya Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya. Lalu Abul Yusr menuturkan hadis ini hingga selesai."
Hadis lain diriwayatkan dari Amirul Mukminin Usman ibnu Affan.
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Yahya Al-Bazzar (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Usaid ibnu Salim Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl Al-Ansari, dari Hisyam ibnu Ziyad Al-Qurasyi, dari ayahnya, dari Mihjan maula Usman, dari Usman r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah memberikan naungan kepada seseorang di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, yaitu orang yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesusahan atau memaafkan orang yang berutang (kepadanya).
Hadis lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Ja'unah As-Sulami Al-Khurrasani, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar menuju masjid seraya bersabda dan mengisyaratkan tangannya seperti ini —lalu Abu Abdur Rahman mengisahkan hadis ini seraya mengisyaratkan tangannya ke tanah: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesusahan atau memaafkan (utang)nya, maka Allah akan memeliharanya dari panas neraka Jahannam. Ingatlah, sesungguhnya amal surgawi itu (bagaikan mendaki) bukit yang terjal lagi tajam, diulangnya tiga kali; ingatlah, sesungguhnya amal neraka itu (bagaikan menempuh) dataran di atas batu besar. Orang yang berbahagia ialah orang yang dihindarkan dari berbagai fitnah; tiada suatu tegukan pun yang lebih disukai oleh Allah selain dari mereguk kemarahan yang dilakukan oleh seorang hamba. Tidak sekali-kali seorang hamba Allah menahan kemarahannya, melainkan Allah memenuhi rongganya dengan iman.
Hadis ini termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Tabrani.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Baurani Kadi Hudaibiyyah, tempat Bani Rabi'ah; telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali As-Sada-i, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam Ibnul Jarud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abul Muttaidkhal ibnu Uyaynah, dari ayahnya, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan sampai masa kelapangannya, niscaya Allah akan menangguhkan dosa-dosanya sampai ia bertobat.
* * *
Kemudian Allah memberikan wejangan kepada hamba-hamba-Nya dan mengingatkan
mereka akan lenyapnya dunia ini dan semua yang ada padanya berupa harta benda
dan lain-lainnya pasti lenyap. Sesudah itu mereka datang ke alam ukhrawi dan
kembali kepada-Nya, lalu Allah melakukan perhitungan hisab kepada semua
makhluk-Nya atas semua amal perbuatan yang telah mereka lakukan selama di dunia,
kemudian Allah memberikan balasan-Nya kepada mereka sesuai dengan amal baik dan
amal buruk mereka. Allah memperingat-kan mereka akan siksaan-Nya. Untuk itu
Allah Swt. berfirman:
Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281)
Telah diriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan.
Ibnu Luhaiah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan di antara semuanya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281). Nabi Saw. hidup selama sembilan malam sesudah ayat ini diturunkan, kemudian beliau wafat pada hari Senin, tanggal dua, bulan Rabi'ul Awwal. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Al-Mas'udi, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa akhir ayat Al-Qur'an dalam penurunannya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281)
Imam Nasai meriwayatkan melalui hadis Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir turunnya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna ter-hadap apa yang telah dikerjakan, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ad-Dahhak dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
As-Sauri meriwayatkan dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir turunnya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281) Tersebutlah bahwa antara turunnya ayat ini dan wafat Nabi Saw. terhadap tenggang masa selama tiga puluh satu hari.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman-Nya: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa mereka (para sahabat) mengatakan, "Sesungguhnya usia Nabi Saw. sesudah ayat ini diturunkan tinggal sembilan hari lagi; ayat diturunkan pada hari Sabtu, dan beliau Saw. wafat pada hari Senin."
Ibnu Jarir dan Ibnu Atiyyah meriwayatkan dari Abu Sa'id, bahwa ayat yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281)
Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
Riba dan Pokok Harta (ra's al-mal)
UANG DAN UTANG PIUTANG
Pada asalnya uang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan pengukur nilai sebuah komoditas. Namun, dengan menyebarluasnya sistem bunga dalam transaksi keuangan saat ini, fungsi uang sudah bertambah menjadi sebuah komoditas. Fungsi uang sebagai komoditas didukung oleh beberapa teori keuangan kontemporer seperti dalam Loanable Funds Theory. Dalam teori ini bunga (interest) dianggap sebagai harga dari dana yang tersedia untuk dipinjamkan (loanable fund) yang menjadi salah satu variable yang mempengaruhi tingkat penawaran (supply of) dan permintaan (demand for) dari loanable fund tersebut.
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa penyuplai loanable fund akan bersedia memberikan pinjaman uang kepada peminjam hanya apabila si peminjam bersedia mengembalikan uang pinjamannya dalam jumlah yang lebih besar dari pokok pinjamannya. Selisih antara jumlah yang harus dibayarkan peminjam dan pokok pinjamannya itulah yang disebut bunga. Secara kontrak, harga (bunga) tersebut mesti dibayar peminjam dalam keadaan apa pun (usaha si peminjam untung atau rugi) kepada pemberi pinjaman, karena si pemberi pinjaman dianggap sudah menjual sebuah komoditas yang disebut dengan uang.
Utang-piutang (al-qardl) adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Pengertian “sesuatu” dari definisi yang diungkapkan di atas mempunyai makna yang luas, selain dapat berbentuk uang, juga bisa saja dalam bentuk barang asalkan barang-barang tersebut habis karena pemakaian.
Istilah utang (kredit) dalam banyak buku dikatakan berasal dara kata credo. Artinya memberikan pinjaman uang atas dasar kepercayaan. Dalam perkembangannya, istilah credo juga digunakan dilingkungan agama yang berati kepercayaan. Secara fikih, orang yang meminjami uang tidak boleh meminta manfaat apapun dari yang dipinjaminya, termasuk janji dari si peminjam untuk membayar lebih. Kaidah fikih mengatakan : “setiap qard yang meminta manfaat adalah riba”. Oleh karena itu, apabila seseorang meminjam uang kepada temannya sebsar Rp. 100.000,-, seyogyanya membayar Rp. 100.000, pula tanpa berlebih.
Dasar hukum hutang-piutang ini adalah Qs. al-Mâidah (5): 2:
”…Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan….”. (al-Maidah:2).
Qs. al-Hadid (57):11 :
”Siapakah yang menghutangkan (karena Allah) dengan hutang yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Qs. al-Hadid: 1
Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah saw. terdapat dalam Hadis Ibnu Majah:
عن ابن مسعود رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من مسلم قرضا مرتين الا كان كصدقتها مرة ( رواه ابن ماجه )
Artinya: ”Dari Ibnu Mas’ud:”Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali”.
Rukun dan syarat perjanjian hutang-piutang ada empat yaitu: (1) orang yang berpiutang. Disyaratkan orang yang berpiutang itu cakap melakukan tindakan hukum; (2) orang yang berhutang. Persyaratannya sama dengan point 1; (3) barang yang dihutangkan. Barang ini disyaratkan harus bisa diukur atau diketahui jumlah maupun nilainya; dan (4) lafaz, yakni adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan maupun dari pihak yang berutang.
Ada lima implikasi hukum dari sebuah akad hutang piutang.
1. Menetapkan peralihan pemilikan, sebagaimana berlaku pada akad jual beli, hibah, dan hadiah.
2. Penyelesaian hutang-piutang dilakukan di tempat akad berlangsung kecuali tidak membutuhkan ongkas jika dilaksanakan di tempat lain.
3. Muqtaridl wajib melunasi utang dengan barang yang sejenis jika obyek hutang adalah barang almishliyyât atau dengan barang yang senilai jika objek utang adalah barang al-qimiyyat.
4. Jika ditetapkan ada temponya dalam akad, maka muqridl tidak berhak menuntut pelunasan sebelum jatuh tempo.
5. Jika sudah jatuh tempo, sementara muqtaridl belum mampu melunasi hutang, hendaklah diberikan perpanjangan waktu.
Apabila terjadi kelebihan pembayaran dari jumlah uang pokok (ra’s al-mâl) atau sejumlah yang diterima oleh orang yang berutang, maka dapat dibedakan menjadi dua macam.
1. Kelebihan yang tidak diperjanjikan. Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang bukan didasarkan karena adanya perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi orang yang berpiutang, dan merupakan kebaikan bagi yang berhutang. Hal ini didasarkan pada Sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata:”Rasulullah telah menghutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari hewan yang beliau hutang.
2. Kelebihan yang diperjanjikan. Kelebihan pembayaran oleh orang yang berhutang yang didasarkan kepada perjanjian hukumnya tidak boleh (haram). Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah saw. antara lain hadis Riwayat Baihaqi dan hadis Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
أن كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا ( أخرجه البيهقي )
Artinya:“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia sejenis dari beberapa jenis riba”.
Al-qardl (hutang-piutang) uang, di tengah-tengah masyarakat telah terjadi fenomena yang sangat beragam. Di antara praktik yang sering dilakukan sebagai berikut:
1. Dengan pengembalian yang berlipat ganda dari modal pinjaman.
2. Pengembaliannya diserahkan kepada peminjam untuk memberikan berapapun presentase dari kelebihan modal.
4. Dengan menggunakan helah.
3. Dengan istilah pajek (memajek).
5. Dengan istilah nempok.
6. Dengan menggunakan standar harga barang.
Di antara keenam variasi tersebut ada sebagian masyarakat yang menganggapnya sesuai dengan konsep hukum ekonomi Islam. Tetapi ada pula yang menilai telah keluar dari perspektif hukum Ekonomi Islam.
Pola yang pertama dianggap keliru karena selama istilahnya berhutang (meminjam) tetap tidak boleh mengembalikan lebih dari modalnya (ra’s al-mâl) jika dilakukan lewat perjanjian terlebih dahulu. Sementara, pada model kedua biasanya dilakukan dengan perkataan orang yang mempiutangi: ”berapapun kelebihan yang mau anda (peminjam) kasih kepadaku”. Lafaz tersebut tetap memiliki maksud harus ada kelebihan dari pokok harta (ra’s al-mal). Berkaitan dengan hal ini, jangankan manfa’at (kelebihan itu) dalam bentuk yang sama (seperti uang), dalam bentuk yang lain pun tetap tidak boleh. Misalnya, seseorang diberikan pinjaman Rp 1.000.000,- lalu uang itu tetap utuh dikembalikan, namun dia mensyaratkan, seperti ucapannya:”saya titip barang ini lewat kamu kepada si A”, yang pada zahirnya kalau shahib al-mâl mengupah orang lain untuk mengantar barang tersebut akan menghabiskan sejumlah uang.”
Dalam praktik di atas, memang dilakukan dengan cara saling meridlai (‘antarâdlin), namun tetap dianggap kurang tepat karena “keridlaan” dalam kasus di atas masih ada unsur keterpaksaan, seperti ucapan: ”berapapun yang mau anda berikan kepada saya”, menunjukkan harus lebih dari modal (ra’s al-mal). Sebab, menurut sebagian ulama betapapun kecilnya ribâ itu tetap haram. Berbeda dengan jual beli, berapapun tinggi harganya tetap sah, karena sudah jelas barang yang mau dibeli walaupun labanya sampai 1000 %, karena jual beli tersebut termasuk akd tijârah (bisnis) dan akad timbal balik yang sempurna (mu’âwadah kâmilah). Sementara, transaksi pinjam-meminjam termasuk akd tabarru’ (shadaqah, charity).
Utang-piutang dengan menggunakan “helah”, seperti seseorang membutuhkan uang Rp 2.000.000,-, lalu pemilik modal tersebut menghargakan sapi miliknya seharga Rp 3.000.000,- dibayar dalam waktu tertentu pada masa yang akan datang. Cara seperti ini, tetap dianggap tidak tepat, karena termasuk helah yang salah. Helah yang benar, dilakukan dengan cara, misalnya karena Si B membutuhkan uang Rp 5.000. 000,-, lalu Si A hanya punya sapi, kemudian Si A hutangkan pada Si B seharga Rp. 5.000.000,-. Praktik utang piutang dengan menggunakan helah tersebut telah terjadi secara luas, bahkan lebih parah lagi dengan hanya mengandaikan dana pinjaman pada harga sapi, padahal sapi yang dimaksud tidak dimiliki oleh pihak yang mempiutangi. Istilah yang digunakan untuk mengganti istilah bunga (renten) pun mulai bermunculan, misalnya “uang pajak”, uang jasa, dan lain-lain. Cara yang ketiga ini mestinya harus menggunakan akad jual beli (murabahah), bukan akad hutang-piutang (qardl). Oleh karena itu, kelebihan harga yang disebabkan oleh penundaan pembayaran masih dibenarkan dalam Islam karena prinsip “waktu berharga” ini hanya boleh dilakukan dalam transaksi jual beli bukan utang piutang.
Sementara, jenis yang keempat, yakni istilah helah (yang benar) dan jenis kelima, yakni nempok sebenarnya memiliki ciri yang sama, yakni sama-sama dilakukan dengan akad jual beli.
Jenis terakhir, yakni uang piutang uang berstandar harga barang sepintas memiliki kemiripan dengan jenis keempat dan kelima. Jenis keempat dan kelima yang diperpinjamkan sebenarnya adalah benda, sedangkan yang keenam ini yang diperpinjamkan uang namun dengan menggunakan standar harga barang. Jenis terakhir ini masih sangat jarang ulama atau peneliti membahasnya. Praktik yang terakhir ini terjadi dengan cara sesorang membutuhkan uang untuk suatu keperluan, lalu meminjam uang sejumlah yang dibutuhkan sesuai kesepakatan (misalnya dua juta rupiah), yang pada saat peminjam meminjam uang sebesar itu akan dapat membeli semen sebanyak 40 sak, lalu pada saat dikembalikan, misalnya tahun depan dikembalikan seharga 40 sak semen, yang sangat mungkin harganya lebih tinggi dari harga pada tahun sebelumnya. Secara akal sehat cara yang terakhir ini sangat rasional dan sangat memenuhi rasa keadilan. Paling tidak si pemberi pinjaman telah memberikan kesempatan uangnya dipergunakan oleh peminjam dalam jangka waktu satu tahun, hal ini tentu saja sangat membantu peminjam. Sementara, pemberi pinjaman tidak dirugikan karena barang yang diperoleh dengan uang yang dimiliki pada tahun ketika ia memperpinjamkan uangnya dengan saat dikembalikan uang tersebut masih sama, yakni dapat membeli 40 sak semen.
Dari sisi akad, akad hutang-piutang ini bisa dikategorikan menjadi tiga macam:
Utang-piutang barang dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga semula disebabkan karena penundaan waktu.
Utang-piutang uang dengan pengambilan lebih dari harga pokok (ra’s al-mal).
Utang-piutang uang dengan standar harga barang.
Yang pertama dan kedua telah dijelaskan secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh. Pada umumnya, para ulama mengkategorikan kedua jenis utang-piutang ke dalam transaksi yang tidak boleh dilebihkan pengembaliannya dari jumlah pokok pinjaman (ra’s al-mal) dengan cara perjanjian terlebih dahulu. Jenis yang pertama boleh dilakukan asalkan dilakukan dengan akad jual beli (murâbahah dan bai’ bi tsaman ajil/bai’ mu’ajjalah) bukan dengan hutang-piutang (al-qardl). Dalil yang sering dijadikan alasan adalah hadis:”Setiap pinjaman (hutang) yang mengandung manfaat (kelebihan) maka hukumnya riba”. Sementara, yang ketiga ini belum dijumpai secara eksplisit dalam kitab-kitab fiqh.
Menurut M. Syafii Antonio, dalam pandangan Islam dibolehkannya penetapan harga tangguh-bayar (deferred payment) lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Demikian juga semakin panjang waktu penagihan akan semakin banyak pula biaya yang diperlukan bank untuk administrasi, collection, dan SDM yang mengoperasionalkannya. Sementara, Rafiq Yunus al-Misri menyimpulkan bahwa secara umum dalam Islam diakui juga waktu itu ada nilainya (harganya). Dengan pola pikir seperti itu, menaikkan harga barang karena penundaan dalam membayar hukumnya boleh. Namun prinsip “waktu berharga” ini hanya boleh diterapkan dalam transaksi jual beli, tidak boleh diterapkan dalam Utang-piutang. Karena jual beli merupakan akad timbal balik yang sempurna (mu’âwadah kâmilah) sedangkan Utang-piutang merupakan akd tabarru’ (sedekah, charity).
PRINSIP-PRINSIP DALAM AKTIVITAS UTANG-PIUTANG
Prinsip Al-‘Adalah (Justice)
Perintah-perintah untuk menegakkan keadilan dalam al-Qur’an disampaikan dalam berbagai konteks. Selain perkataan “ ’adl”, al-Qur’an juga menggunakan kata “qisth” dan “wasth”. Semua kata-kata tersebut menurut Nurkholis Majid bertemu dalam ide umum yang berarti “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur”.
Kata al-‘adl dan al-qisth bisa ditemukan pada Qs. al-An’âm(6): 152, al-Mâidah (5): 8 dan al-Hujurât (49): 9. Di samping itu, juga digunakan kata al-mîzân. Kata ini dalam al-Qur’an dapat dijumpai dalam surat as-Syura (42): 17 dan al-Hadîd (57): 25. Secara tematik, kemestian berlaku adil kepada sesama istri dinyatakan dalam Qs al-Nisâ’ (4):128. Keadilan sesama muslim dinyatakan dalam Qs al-Hujurât (49): 9. Keadilan pada diri sendiri sebagai orang muslim dijelaskan dalam Qs al-An’âm (6): 52. Ayat yang paling tegas tentang masalah keadilan terhadap si miskin dan kaya adalah Qs. al-Nisâ’ ayat 135. Ayat-ayat yang menunjukkan keseimbangan dan keadilan dalam perintah Allah atas hamba-hamba-Nya banyak sekali dalam al-Qur’an. Perintah seperti itu antara lain perintah haji bagi yang mempunyai kekuasaan untuk menunaikannya, perintah menunaikan zakat bagi yang telah memenuhi kadar maksimal kekayaannnya atau nisâb, dsb. Untuk telaah lebih lanjut dapat dibaca ayat-ayat berikut ini: al-Baqarah (2): 48, 123, 282, al-Nisâ’ (4): 58, al-Mâidah (5): 95, 106, al-An’âm (6): 70, 115, al-Nahl (16): 76, 90, dan al-Thalâq (65): 2.
Sedangkan pengertian pokok tentang keadilan menurut Murthadla al-Muthahhari ada 4, yaitu:
a. Perimbangan atau keadaan seimbang (mauzûn), tindak pincang. Jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harus berada dalam keseimbangan (muta’âdil), dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Ini berarti bahwa keadilan tidak mesti menuntut persamaan. Suatu bagian dalam hubungannya dengan bagian lain dan dengan keseluruhan kesatuan menjadi efektif tidak karena ia memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang sama, melainkan karena memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang “pas” dan sesuai dengan fungsi itu.
b. Persamaan (musâwah) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Perlakuan yang sama yang dimaksud di sini adalah perlakuan yang sama kepada orang-orang yang mempunyai hak yang sama (karena kemampuan, tugas, dan fungsi yang sama), maka pengertian persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan. Seorang manajer diperlakukan persis sama dengan seorang pesuruh, maka yang terwujud bukanlah keadilan, melainkan justru kezaliman.
c. Pemberian hak kepada setiap orang yang berhak (I’thâ’ kulli dzi haqqin haqqahu). Kezaliman dalam pengertian ini ialah perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak oleh yang tidak berhak. Berkaitan dengan adil dalam pengertian ini menyangkut dua hal, yakni masalah hak dan pemilikan dan kekhususan hakiki manusia atau kualitas manusiawi tertentu yang harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui orang lain.
d. Keadilan Tuhan (al-‘adl al-ilâhi), berupa kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat kepada seseorang sesuai dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan. Keadilan mengandung prinsip dasar yang universal, tetapi penerapannya masih harus mempertimbangkan batas waktu dan ruang.
Mohammad Daud Ali menempatkan keadilan itu sebagai salah satu nilai dasar ekonomi Islam di samping nilai dasar kepemilikan dan keseimbangan. Kata adil adalah kata yang paling banyak disebut dalam al-Qur’an (lebih dari 1000 kali), setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam Islam, keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Ini berarti bahwa nilai kata itu sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam kehidupan hukum, sosial, politik, dan ekonomi. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa:
a. Keadilan itu harus diterapkan di semua bidang kehidupan ekonomi. Dalam proses produksi dan konsumsi, misalnya, keadilan harus menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantas keborosan (Qs. al-Isra’ [17]:16). Dalam distribusi keadilan harus menjadi penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan harga, agar hasilnya sesuai dengan takaran yang wajar dan kadar yang sebenarnya. (Qs. al-Hijr [15]:19).
b. Keadilan juga berarti kebijaksanaan mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakât, infâq, dan shadaqah. Watak utama nilai keadilan yang dikemukakan di atas adalah bahwa masyarakat ekonomi haruslah merupakan masyarakat yang memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Penyimpangan dari watak ini akan menimbulkan bencana bagi masyarakat yang bersangkutan.
Karena prinsip keadilan ini pulalah kiranya lahir kaidah yang menyatakan bahwa hukum Islam dalam praktiknya dapat berlaku sesuai dengan ruang dan waktu. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan, kesulitan menjadi kelonggaran, maka terbataslah kelonggaran itu sekedar terpenuhinya kebutuhan yang bersifat primer atau sekunder (dlarûry atau hâjjiy). Kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan adalah: “al-Umûru idzâ dlâqat ittasa’at wa idza ittasa’at dlâqat”. Secara lebih khusus dalam ranah ekonomi Islam, Afzalurrahman membagi keadilan menjadi empat, yaitu keadilan dalam produksi, keadilan dalam konsumsi, keadilan dalam distribusi, dan keadilan dalam pertukaran.
‘Adamu Tadlis, Al-gharar, wa Riba.
Tadlis ialah Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak unknown to one party. Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada sesuatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini merupakan asymetric information. Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.
Gharar ialah suatu transaksi yang mengandung ketidak-jelasan atau ketidakpastian. Gharar mengandung incomplete information. Namun berbeda dengan tadlis, di mana incomplete informationnya hanya dialami oleh satu pihak saja (onknown to one party), misalnya pembeli saja atau penjual saja, dalam gharar incomplete information dialami oleh dua pihak, baik pembeli maupun penjual. Jadi dalam gharar terjadi ketidakpastian (ketidakjelasan) yang melibatkan dua pihak. Contohnya jual beli ijon, jual beli anak sapi yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang ada di dalam kolam, dsb. Sebagaimana tadlis, jual beli gharar juga terjadi pada empat hal, yaitu : kualitas, kuantitas, harga dan waktu.
Riba termasuk transaski yang bathil, bahkan hampir semua ulama menafsirkan firman Allah ”memakan harta dengan bathil” itu dengan riba sebagai contoh pertama. Riba secara etimologis berarti pertambahan Secara terminoligi syar’i riba ialah, penambahan tanpa adanya ’iwadh. Secara teknis, maknanya mengacu kepada premi yang harus dibayar si peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok yang disyaratkan sejak awal. Penambahan dari pokok itu disyaratkan karena adanya nasi’ah (penangguhan).
Perbedaan Ekonomi dalam batas yang wajar
Islam mengakui adanya perbedaan ekonomi di antara setiap orang, tetapi tidak membiarkannya bertambah luas, Islam berusaha menjadikan perbedaan itu dalam batas-batas yang wajar, adil dan tidak berlebihan. Sesuai dengan firman Allah Swt.
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Qs. Az-Zukhrif: 32)
Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi, tetapi mengupayakan kesetaraan sosial. Kesetaraan sosial ini memungkinkan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berkompetisi menjadi yang terbaik. Kesetaraan ini membentuk keharmonisan dalam kehidupan manusia. Ketidakstabilan dan kesenjangan yang muncul di tengah masyarakat karena sistem yang diterapkan manusia. Misalnya, masyarakat lebih menghormati orang yang memiliki jabatan atau orang yang kaya raya, sehingga orang yang tidak memiliki jabtan dan yang tidak berharta merasa Allah tidak adil kepadanya.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
(Riba dan Pokok Harta)
QS. al-Baqarah (2) : 278-280
Terjemah :
278. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
279. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.
280. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.
Tafsir Ayat
{يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (279) وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى
مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (280) }
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian
orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika
kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian;
kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang yang berutang
itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika
kalian mengetahui.Allah Swt. berfirman seraya memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar bertakwa kepada-Nya dan melarang mereka melakukan hal-hal yang mendekatkan mereka kepada kemurkaan-Nya dan hal-hal yang menjauhkan diri mereka dari rida-Nya. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah. (Al-Baqarah: 278)
Yakni takutlah kalian kepada-Nya dan ingatlah selalu bahwa kalian selalu berada di dalam pengawasan-Nya dalam semua perbuatan kalian.
وَذَرُوا
مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبا
dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut). (Al-Baqarah: 278)
Maksudnya, tinggalkanlah harta kalian yang ada di tangan orang lain berupa lebihan dari pokoknya sesudah adanya peringatan ini.
إِنْ
كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
jika kalian orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278)
Yaitu jika kalian beriman kepada apa yang disyariatkan oleh Allah buat kalian, yaitu penghalalan jual beli dan pengharaman riba, serta lain-lainnya.
Zaid ibnu Aslam dan Ibnu Juraij, Muqatil ibnu Hayyan, serta As-Saddi telah mengatakan bahwa konteks ini diturunkan berkenaan dengan Bani Amr ibnu Umair dari kalangan Bani Saqif, dan Banil Mugirah dari kalangan Bani Makhzum; di antara mereka terjadi transaksi riba di masa Jahiliah.
Ketika Islam datang, lalu mereka memeluknya, maka Bani Saqif melakukan tagihannya kepada Bani Mugirah, yaitu meminta lebihan dari pokok harta mereka (bunganya). Maka orang-orang Bani Mugirah mengadakan musyawarah, akhirnya mereka memutuskan bahwa mereka tidak akan membayar riba (bunga) itu dalam Islam, sebab usaha mereka telah Islam. Lalu Attab ibnu Usaid yang menjadi Naib Mekah berkirim surat kepada Rasulullah Saw., menanyakan masalah tersebut, lalu turunlah ayat ini. Jawaban dari Rasulullah Saw. kepada Usaid berisikan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 278-279) Maka mereka mengatakan, "Kami bertobat kepada Allah dan kami tinggalkan semua sisa riba." Lalu mereka meninggalkan perbuatan riba mereka. Ayat ini merupakan ancaman yang keras dan peringatan yang tegas terhadap orang-orang yang masih menetapi perbuatan riba sesudah adanya peringatan.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa sahabat Ibnu Abbas pernah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka hendaklah diketahui oleh mereka adanya perang. (Al-Baqarah: 279); Yakni hendaklah mereka mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya memerangi mereka.
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan melalui riwayat Rabiah ibnu Ummu Kalsum, dari ayahnya, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dikatakan kepada orang yang memakan riba kelak di hari kiamat, "Ambillah senjatamu untuk berperang." Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman-Nya: Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 279)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 279) Bahwa barang siapa yang masih tetap menjalankan riba dan tidak mau menanggalkannya, maka sudah merupakan kewajiban bagi Imam kaum muslim untuk memerintahkan bertobat kepadanya. Jika ia mau bertobat, maka bebaslah ia; tetapi jika masih tetap, maka lehernya dipukul (yakni dipancung).
Ibnu Abu Hatim (yaitu Ali ibnul Husain) meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Hasan, dari Al-Hasan dan Ibnu Sirin, bahwa keduanya pernah mengatakan, "Demi Allah, sesungguhnya bankir-bankir itu benar-benar orang-orang yang memakan riba.
Sesungguhnya mereka telah mempermaklumatkan perang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Seandainya orang-orang dipimpin oleh seorang imam yang adil, niscaya imam diwajibkan memerintahkan mereka untuk bertobat. Jika mereka mau bertobat, maka bebaslah mereka; tetapi jika mereka tetap melakukan perbuatan riba, maka dipermaklumatkan perang terhadap mereka.
Qatadah mengatakan bahwa Allah mengancam mereka untuk berperang seperti yang telah mereka dengar, dan Allah menjadikan mereka boleh diperangi di mana pun mereka berada. Maka jangan sekali-kali melakukan transaksi riba ini, karena sesungguhnya Allah telah meluaskan usaha yang halal dan menilainya baik. Karena itu, janganlah sekali-kali kalian menyimpang dan berbuat durhaka kepada Allah Swt. karena takut jatuh miskin. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa Allah mengancam orang yang memakan riba dengan perang. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
As-Suhaili mengatakan, "Oleh karena itulah Siti Aisyah mengatakan kepada Ummu Mahbah —budak perempuan Zaid ibnu Arqam yang telah dimerdekakan (oleh anaknya)— dalam masalah riba ainiyyah, 'Sampaikanlah kepadanya bahwa jihadnya bersama Rasulullah Saw. telah dihapus (pahalanya) kecuali jika ia bertobat'." Penyebutan jihad dalam asar ini merupakan suatu prioritas, mengingat ia adalah lawan kata dari makna yang terkandung di dalam firman-Nya: Maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kalian. (Al-Baqarah: 279)
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa pengertian ini banyak dikatakan oleh kalangan ulama. Ia mengatakan pula bahwa tetapi sanad asar ini sampai kepada Siti Aisyah berpredikat daif.
* * *
وَإِنْ
تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُؤُسُ أَمْوالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ
وَلا
تُظْلَمُونَ
Dan jika kalian bertobat (dari pengambilan riba), maka bagi kalian pokok harta kalian; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. (Al-Baqarah: 279)
Maksudnya, kalian tidak menganiaya orang lain karena mengambil bunga darinya, dan tidak pula dianiaya karena harta pokok kalian dikembalikan tanpa ada tambahan atau pengurangan, melainkan sesuai dengan apa adanya.
وَقَالَ
ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ إِشْكَابٍ،
حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى، عَنْ شَيْبَانَ، عَنْ شَبِيبِ بْنِ
غَرْقَدَةَ الْبَارِقِيِّ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ الْأَحْوَصِ عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ
فَقَالَ: "أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا كَانَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ عَنْكُمْ
كُلُّهُ، لَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ،
وَأَوَّلُ رِبًا مَوْضُوعٍ رِبَا الْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، مَوْضُوعٌ
كُلُّهُ" كَذَا وَجَدْتُهُ: سُلَيْمَانَ بْنَ الْأَحْوَصِ.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Husain ibnu Asykab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, dari Syaiban, dari Syabib ibnu Garqadah Al-Mubariqi, dari Sulaiman ibnu Amr ibnul Ahwas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. dalam khotbah haji wada'-nya mengatakan: Ingatlah, sesungguhnya semua riba Jahiliah dihapus dari kalian. Kalian hanyalah pokok dari harta kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya, dan pertama riba yang dihapus ialah riba Al-Abbas ibnu Abdul Muttalib, dihapus seluruhnya. Demikianlah menurut apa yang ditemukan oleh Sulaiman ibnul Ahwas.
قَالَ
ابْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا الشَّافِعِيُّ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ
الْمُثَنَّى، أَخْبَرَنَا مُسَدَّدٌ، أَخْبَرَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ، حَدَّثَنَا
شَبِيبُ بْنُ غَرْقَدَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ أَبِيهِ قَالَ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم يقول: "أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا
مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ، فَلَكُمْ رُؤُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا
تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ"
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Asy-Syafii, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abul Ahwas, telah menceritakan kepada kami Syabib ibnu Garqadah, dari Sulaiman ibnu Amr, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Ingatlah, sesungguhnya semua riba Jahiliah dihapus. Maka bagi kalian hanyalah pokok dari harta kalian, kalian tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.
Hal yang sama diriwayatkan melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Hamzah Ar-Raqqasyi, dari Amr (yakni Ibnu Kharijah), lalu ia menuturkan hadis ini.
* * *
وَإِنْ
كانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ
إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah masa tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 280)
Allah Swt. memerintahkan untuk bersabar dalam menghadapi orang yang berutang yang dalam kesulitan tidak mempunyai apa yang akan dibayarkannya buat menutupi utangnya. Untuk itu Allah Swt. berfirman: Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. (Al-Baqarah: 280)
Tidak seperti apa yang dilakukan di masa Jahiliah, seseorang di antara mereka berkata kepada orang yang berutang kepadanya, "Jika masa pelunasan utangmu telah tiba, maka adakalanya kamu melunasinya atau kamu menambahkan bunganya."
Kemudian Allah menganjurkan untuk menghapuskan sebagian dari utang itu, dan menilainya sebagai perbuatan yang baik dan berpahala berlimpah. Untuk itu Allah Swt. berfirman:
{وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ}
Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui. (Al-Baqarah: 280).
Artinya, jika kalian menghapuskan semua pokoknya dari tanggungan si pengutang, maka hal itu lebih baik bagi kalian.
Banyak hadis yang menerangkan keutamaan menghapus utang ini yang diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Nabi Saw.
Hadis pertama diriwayatkan dari Abu Umamah, yaitu As'ad ibnu Zurarah.
قَالَ
الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ شُعَيْبٍ
الرَّجَّانِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَكِيمٍ الْمُقَوِّمُ، حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ الْبُرْسَانِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي
زِيَادٍ، حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ أَبِي أُمَامَةَ أَسْعَدَ
بْنِ زُرَارَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُظِلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ،
فَلْيُيَسِّر عَلَى مُعْسِرٍ أَوْ لِيَضَعْ عَنْهُ"
Imam Tabrani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Syu'aib Al-Murjani, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hakim Al-Muqawwim, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bakr Al-Bursani, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Abu Ziyad, telah menceritakan kepadaku Asim ibnu Ubaidillah, dari Abu Umamah (yaitu As'ad ibnu Zurarah), bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang ingin mendapat naungan dari Allah pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, maka hendaklah ia memberikan kemudahan kepada orang yang dalam kesulitan atau memaafkan utangnya.
Hadis lain diriwayatkan dari Buraidah.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حدثنا
محمد بْنُ
جُحَادَةَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ بُرَيْدَةَ، عَنْ أَبِيهِ قَالَ: سَمِعْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا
فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةٌ ". قَالَ: ثُمَّ سَمِعْتُهُ يَقُولُ:
"مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَاهُ صَدَقَةٌ". قُلْتُ:
سَمِعْتُكَ -يَا رَسُولَ اللَّهِ -تَقُولُ: "مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا فَلَهُ
بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةٌ". ثُمَّ سَمِعْتُكَ تَقُولُ: "مَنْ أَنْظَرَ
مُعْسِرًا فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَاهُ صَدَقَةٌ"؟! قَالَ: "لَهُ بِكُلِّ
يَوْمٍ مِثْلُهُ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَحِلَّ الدَّيْنُ، فَإِذَا حَلَّ الدَّيْنُ
فَأَنْظَرَهُ، فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَاهُ صَدَقَةٌ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah mencerftakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Juhadah, dari Sulaiman ibnu Buraidah, dari ayahnya, bahwa ia' pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan, maka baginya untuk setiap harinya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya. Kemudian Buraidah menceritakan pula bahwa ia pernah mendengar Nabi Saw. bersabda: "Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang sedang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah mendengarmu mengatakan, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan, maka baginya pahala sedekah yang semisal dengan piutangnya untuk setiap harinya.'
Kemudian aku pernah mendengarmu bersabda, 'Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang dalam kesulitan, maka baginya pahala dua kali lipat sedekah piutangnya untuk setiap harinya'." Beliau Saw. bersabda, "Baginya pahala sedekah sebesar piutangnya untuk setiap harinya sebelum tiba masa pelunasannya. Dan apabila masa pelunasannya tiba, lalu ia menangguhkannya, maka baginya untuk setiap hari pahala dua kali lipat sedekah piutangnya."
Hadis lain diriwayatkan dari Abu Qatadah, yaitu Al-Haris ibnu Rab'i Al-Ansari.
قَالَ
[الْإِمَامُ] أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ،
أَخْبَرَنَا أَبُو جَعْفَرٍ الْخَطْمِيُّ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ
الْقُرَظِيِّ: أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ كَانَ لَهُ دَيْنٌ عَلَى رَجُلٍ، وَكَانَ
يَأْتِيهِ يَتَقَاضَاهُ، فَيَخْتَبِئُ مِنْهُ، فَجَاءَ ذَاتَ يَوْمٍ فَخَرَجَ
صَبِيٌّ فَسَأَلَهُ عَنْهُ، فَقَالَ: نَعَمْ، هُوَ فِي الْبَيْتِ يَأْكُلُ
خَزِيرَةً فَنَادَاهُ: يَا فُلَانُ، اخْرُجْ، فَقَدْ أُخْبِرْتُ أَنَّكَ هَاهُنَا
فَخَرَجَ إِلَيْهِ، فَقَالَ: مَا يُغَيِّبُكَ عَنِّي؟ فَقَالَ: إِنِّي مُعْسِرٌ،
وَلَيْسَ عِنْدِي. قَالَ: آللَّهَ إِنَّكَ مُعْسِرٌ؟ قَالَ: نَعَمْ. فَبَكَى أَبُو
قَتَادَةَ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَنْ نَفَّسَ عَنْ غَرِيمِهِ -أَوْ مَحَا عَنْهُ -كَانَ فِي
ظِلِّ الْعَرْشِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far Al-Khatmi, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, bahwa Abu Qatadah mempunyai piutang pada seorang lelaki, dan setiap kali ia datang untuk menagih kepada lelaki itu, maka lelaki itu bersembunyi menghindar darinya. Maka pada suatu hari ia datang untuk menagih, lalu dari rumah lelaki itu keluar seorang anak kecil. Abu Qatadah menanyakan kepada anak itu tentang lelaki tersebut. Si anak menjawab, "Ya, dia berada di dalam rumah sedang makan ubi (makanan orang miskin)." Lalu Abu Qatadah menyerunya, "Hai Fulan, keluarlah, sesungguhnya aku telah tahu bahwa kamu berada di dalam rumah." Maka lelaki itu keluar, dan Abu Qatadah bertanya, "Mengapa engkau selalu menghindar dariku?" Lelaki itu menjawab, "Sesungguhnya aku dalam kesulitan dan aku tidak memiliki sesuatu pun (untuk melunasi utangmu)." Abu Qatadah berkata, "Beranikah kamu bersumpah dengan nama Allah bahwa kamu benar-benar dalam kesukaran?" Ia menjawab, "Ya." Maka Abu Qatadah menangis, kemudian berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Barang siapa yang memberikan kelapangan kepada orang yang berutang kepadanya atau menghapuskannya, maka dia berada di bawah naungan Arasy kelak pada hari kiamat. (Riwayat Imam Muslim di dalam kitab sahihnya)
Hadis lain diriwayatkan dari Huzaifah Ibnul Yaman.
قَالَ
الْحَافِظُ أَبُو يَعْلَى الْمَوْصِلِيُّ: حَدَّثَنَا الْأَخْنَسُ أَحْمَدُ بْنُ
عِمْرَانَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَالِكٍ
الْأَشْجَعِيُّ، عَنْ رِبْعي بْنِ حِرَاشٍ، عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "أَتَى اللَّهُ بِعَبْدٍ مِنْ
عَبِيدِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، قَالَ: مَاذَا عَمِلْتَ لِي فِي الدُّنْيَا؟
فَقَالَ: مَا عَمِلْتُ لَكَ يَا رَبِّ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ فِي الدُّنْيَا أَرْجُوكَ
بِهَا، قَالَهَا ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، قَالَ الْعَبْدُ عِنْدَ آخِرِهَا: يَا رَبِّ،
إِنَّكَ أَعْطَيْتَنِي فَضْلَ مَالٍ، وَكُنْتُ رَجُلًا أُبَايِعُ النَّاسَ وَكَانَ
مِنْ خُلُقِي الْجَوَازُ، فَكُنْتُ أُيَسِّرُ عَلَى الْمُوسِرِ، وَأُنْظِرُ
الْمُعْسِرَ. قَالَ: فَيَقُولُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا أَحَقُّ مَنْ
يُيَسِّرُ، ادْخُلِ الْجَنَّةَ".
Al-Hafiz Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Akhnas (yaitu Ahmad ibnu Imran), telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, telah menceritakan kepada kami Abu Malik Al-Asyja'i, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah, bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda: Dihadapkan kepada Allah seorang hamba di antara hamba-hamba-Nya di hari kiamat, lalu Allah bertanya, "Apakah yang telah engkau amalkan untuk-Ku ketika di dunia?" Ia menjawab, "Aku tidak pernah beramal barang seberat zarrah pun untuk-Mu, wahai Tuhanku, ketika aku di dunia. Maka kumohon Engkau memaafkannya." Hal ini dikatakan oleh si hamba sebanyak tiga kali. Dan pada kalimat terakhirnya si hamba mengatakan, "Wahai Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugerahkan kepadaku harta yang berlimpah, dan aku adalah seorang lelaki yang biasa bermuamalah dengan orang banyak. Dan termasuk kebiasaanku ialah memaafkan; aku biasa memaafkan orang yang dalam kesukaran, dan biasa memberi masa tangguh terhadap orang yang dalam kesulitan." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Allah Swt. berfirman, "Aku lebih berhak untuk memberikan kemudahan, sekarang masuklah engkau ke surga."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah. Sedangkan Imam Muslim menambahkan, dan dari Uqbah ibnu Amir serta Abu Mas'ud Al-Badri, dari Nabi Saw. dengan lafaz yang semisal.
Menurut lafaz yang ada pada Imam Bukhari, disebutkan bahwa:
حَدَّثَنَا
هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ، حَدَّثَنَا
الزُّهْرِيُّ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا
هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: "كَانَ تَاجِرٌ يُدَايِنُ النَّاسَ، فَإِذَا رَأَى مُعْسِرًا
قَالَ لِفِتْيَانِهِ: تَجَاوَزُوا عَنْهُ، لَعَلَّ اللَّهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا،
فَتَجَاوَزَ اللَّهُ عَنْهُ".
telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Hamzah, telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah, bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. menceritakan hadis berikut dari Nabi Saw. yang telah bersabda: Ada seorang pedagang yang biasa memberikan utang kepada orang-orang. Apabila ia melihat pengutang yang dalam kesulitan, maka ia berkata kepada pesuruh-pesuruhnya, "Maafkanlah dia, mudah-mudahan Allah memaafkan kita." Maka Allah membalas memaafkannya.
Hadis lain diriwayatkan dari Sahl ibnu Hanif.
قَالَ
الْحَاكِمُ فِي مُسْتَدْرَكِهِ: حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ
يَعْقُوبَ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، حَدَّثَنَا أَبُو
الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ، حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ ثَابِتٍ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّ سَهْلًا حَدَّثَهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قَالَ: "مَنْ أَعَانَ مُجَاهِدًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ
غَازِيًا، أَوْ غَارِمًا فِي عُسْرَتِهِ، أَوْ مكاتبًا في رَقَبَتِهِ،
أَظَلَّهُ اللَّهُ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ" ثُمَّ قَالَ: صَحِيحُ
الْإِسْنَادِ، وَلَمْ يُخَرِّجَاهُ.
Imam Hakim mengatakan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah (yaitu Muhammad ibnu Ya'qub), telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Muhammad ibnu Yahya, telah menceritakan kepada kami Abul Walid (yaitu Hisyam ibnu Abdul Malik), telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Sabit, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Uqail, dari Abdullah ibnu Sahl ibnu Hanif; Sahl pernah menceritakan hadis kepadanya bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang membantu orang yang berjihad di jalan Allah, atau orang yang berperang, atau orang yang berutang dalam kesulitannya, atau budak mukatab yang masih dalam ikatan perbudakannya, niscaya Allah akan menaunginya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya. Kemudian Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadis ini sahih, tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengetengahkannya.
Hadis lain diriwayatkan dari Abdullah Ibnu Umar.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، عَنْ يُوسُفَ بْنِ
صُهَيْبٍ، عَنْ زَيْدٍ الْعَمِّيِّ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَرَادَ أَنْ تُسْتَجَابَ
دَعْوَتُهُ، وَأَنْ تُكْشَفَ كُرْبَتُهُ، فَلْيُفَرِّجْ عَنْ
مُعْسِرٍ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, dari Yusuf ibnu Suhaib, dari Zaid Al-Ama, dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang ingin diperkenankan doanya dan dilenyapkan kesusahannya, maka hendaklah ia membebaskan orang yang dalam kesulitan.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadis lain diriwayatkan dari Abu Mas'ud, yaitu Uqbah ibnu Amr.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Abu Malik, dari Rab'i ibnu Hirasy, dari Huzaifah, bahwa seorang lelaki dihadapkan kepada Allah Swt., lalu Allah berfirman, "Apakah yang telah engkau amalkan di dunia?" Lelaki itu menjawab, "Aku tidak pernah beramal kebaikan barang seberat zarrah pun." Kalimat ini diucapkannya sebanyak tiga kali, setelah ketiga kalinya, si lelaki itu berkata, "Sesungguhnya aku telah diberi anugerah harta yang berlimpah oleh-Mu ketika di dunia, dan aku biasa melakukan jual beli dengan orang banyak. Aku selalu memberikan kemudahan kepada orang yang mampu dan biasa memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan." Maka Allah Swt. berfirman: Kami lebih berhak untuk melakukan hal itu daripada kamu, maafkanlah hamba-Ku ini oleh kalian.
Maka diberikan ampunan baginya. Abu Mas'ud mengatakan, "Demikianlah yang aku dengar dari Nabi Saw."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Abu Malik, yaitu Sa'd ibnu Tariq, dengan lafaz yang sama.
Hadis lain diriwayatkan oleh Imran ibnu Husain.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا أَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ،
عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي دَاوُدَ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ كَانَ لَهُ عَلَى رَجُلٍ
حَقٌّ فَأَخَّرَهُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Aswad ibnu Amir, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar, dari Al-A'masy, dari Abu Daud, dari Imran ibnu Husain yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang mempunyai suatu hak atas seorang lelaki, lalu ia menangguhkannya, maka baginya pahala sedekah untuk setiap hari (penangguhan)nya.
Bila ditinjau dari jalur ini, hadis ini berpredikat garib. Dalam pembahasan yang lalu disebutkan hal yang semisal dari Buraidah.
Hadis lain diriwayatkan dari Abul Yusr, yaitu Ka'b ibnu Amr.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا زَائِدَةُ،
عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ عُمَيْرٍ، عَنْ رِبْعِيٍّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو
الْيَسَرِ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ
أَنْظَرَ مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ، عَزَّ وَجَلَّ، فِي
ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Zaidah, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Rab'i yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yusr, bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan atau memaafkan (utang)nya, kelak Allah Swt. akan menaunginya di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya.
Imam Muslim mengetengahkannya melalui jalur yang lain, dari hadis Abbad ibnul Walid ibnu Ubadah ibnus Samit yang menceritakan, "Aku dan ayahku berangkat keluar untuk menuntut ilmu di kalangan kaum Ansar sebelum mereka tiada. Maka orang yang mula-mula kami jumpai adalah Abul Yusr, sahabat Rasulullah Saw. Ia ditemani oleh seorang pelayannya yang membawa seikat lontar catatan. Abul Yusr saat itu memakai baju burdah mu'afiri, dan pelayannya memakai pakaian yang sama. Lalu ayahku berkata kepada Abul Yusr, 'Wahai pamanku, sesungguhnya aku melihat roman wajahmu terdapat tanda-tanda kemarahan.' Ia menjawab, 'Memang benar, aku mempunyai sejumlah piutang pada si Fulan bin Fulan yang dikenal sebagai ahli memanah. Lalu aku datang kepada keluarganya dan aku bertanya, apakah dia ada di tempat. Keluarganya menjawab bahwa ia tidak ada. Lalu keluar dari rumahnya seorang anaknya yang masih kecil, maka kutanyakan kepadanya, 'Di manakah ayahmu?' Ia menjawab, 'Ia mendengar suaramu, lalu ia memasuki kamar ibuku.' Maka aku berkata, 'Keluarlah kamu untuk menemuiku, sekarang aku telah mengetahui di mana kamu berada.' Maka ia keluar, dan aku bertanya kepadanya, 'Mengapa engkau selalu menghindar dariku dan bersembunyi?' Ia menjawab, 'Demi Allah, aku akan berbicara kepadamu dan tidak akan berdusta. Aku takut, demi Allah, berbicara kepadamu, lalu aku berdusta atau aku menjanjikan kepadamu, lalu aku mengingkarinya, sedangkan aku adalah seorang sahabat Rasulullah Saw. Demi Allah, sekarang aku sedang dalam kesusahan.' Aku berkata, 'Maukah engkau bersumpah kepada Allah?' Ia menjawab, 'Demi Allah.' Kemudian ia mengambil lontarnya, dan menghapusnya dengan tangannya, lalu ia berkata, 'Jika engkau telah punya, maka bayarlah kepadaku; dan jika kamu masih juga tidak punya, maka engkau kubebaskan dari utangmu.' Abul Yusr melakukan demikian karena ia pernah menyaksikan dan melihat dengan kedua matanya seraya mengisyaratkan kedua telunjuknya kepada kedua matanya sendiri dan ia pernah mendengar dengan kedua telinganya, serta hatinya telah menghafalnya dengan baik seraya mengisyaratkan ke arah ulu hatinya bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"مَنْ
أَنْظَرَ مُعْسِرًا، أَوْ وَضَعَ عَنْهُ أَظَلَّهُ اللَّهُ فِي
ظِلِّهِ"
Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesusahan atau memaafkan (utang)nya, niscaya Allah akan menaunginya di bawah naungan-Nya. Lalu Abul Yusr menuturkan hadis ini hingga selesai."
Hadis lain diriwayatkan dari Amirul Mukminin Usman ibnu Affan.
قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْإِمَامِ أَحْمَدَ [فِي مُسْنَدِ أَبِيهِ] حَدَّثَنِي أَبُو
يَحْيَى الْبَزَّازُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ
بِشْرِ بْنِ سَلْمٍ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ بْنُ الْفَضْلِ
الْأَنْصَارِيُّ، عَنْ هِشَامِ بْنِ زِيَادٍ الْقُرَشِيِّ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ
مِحْجَنٍ مَوْلَى عُثْمَانَ، عَنْ عُثْمَانَ، قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ،
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَقُولُ: "أَظَلَّ اللَّهُ عَيْنًا فِي
ظِلِّهِ، يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا، أَوْ تَرَكَ
لِغَارِمٍ"
Abdullah ibnu Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abu Yahya Al-Bazzar (yaitu Muhammad ibnu Abdur Rahman), telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Usaid ibnu Salim Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl Al-Ansari, dari Hisyam ibnu Ziyad Al-Qurasyi, dari ayahnya, dari Mihjan maula Usman, dari Usman r.a. yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Allah memberikan naungan kepada seseorang di bawah naungan-Nya pada hari tiada naungan kecuali hanya naungan-Nya, yaitu orang yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesusahan atau memaafkan orang yang berutang (kepadanya).
Hadis lain diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
قَالَ
الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ، حَدَّثَنَا نُوحُ
بْنُ جَعْوَنَةَ السُّلَمِيُّ الْخُرَاسَانِيُّ، عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ،
عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمَسْجِدِ، وَهُوَ يَقُولُ بِيَدِهِ هَكَذَا
-وَأَوْمَأَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بِيَدِهِ إِلَى الْأَرْضِ-: "مَنْ أَنْظَرَ
مُعْسِرًا أَوْ وَضَعَ لَهُ، وَقَاهُ اللَّهُ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، أَلَا إِنَّ
عَمَلَ الْجَنَّةِ حَزْنٌ بِرَبْوَةٍ -ثَلَاثًا -أَلَا إِنَّ عَمَلَ النَّارِ
سَهْلٌ بِسَهْوَةٍ، وَالسَّعِيدُ مَنْ وُقِيَ الْفِتَنَ، وَمَا مِنْ جَرْعَةٍ
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ جَرْعَةِ غَيْظٍ يَكْظِمُهَا عَبْدٌ، مَا كَظَمَهَا
عَبْدٌ لِلَّهِ إِلَّا مَلَأَ اللَّهُ جَوْفَهُ إِيمَانًا"
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Yazid, telah menceritakan kepada kami Nuh ibnu Ja'unah As-Sulami Al-Khurrasani, dari Muqatil ibnu Hayyan, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. keluar menuju masjid seraya bersabda dan mengisyaratkan tangannya seperti ini —lalu Abu Abdur Rahman mengisahkan hadis ini seraya mengisyaratkan tangannya ke tanah: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesusahan atau memaafkan (utang)nya, maka Allah akan memeliharanya dari panas neraka Jahannam. Ingatlah, sesungguhnya amal surgawi itu (bagaikan mendaki) bukit yang terjal lagi tajam, diulangnya tiga kali; ingatlah, sesungguhnya amal neraka itu (bagaikan menempuh) dataran di atas batu besar. Orang yang berbahagia ialah orang yang dihindarkan dari berbagai fitnah; tiada suatu tegukan pun yang lebih disukai oleh Allah selain dari mereguk kemarahan yang dilakukan oleh seorang hamba. Tidak sekali-kali seorang hamba Allah menahan kemarahannya, melainkan Allah memenuhi rongganya dengan iman.
Hadis ini termasuk yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Tabrani.
قَالَ
الطَّبَرَانِيُّ: حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدٍ البُورَاني قَاضِي الحَدِيَثة
مِنْ دِيَارِ رَبِيعَةَ، حَدَّثَنَا الحُسَين بْنُ عَلِيٍّ الصُّدَائي، حَدَّثَنَا
الْحَكَمُ بْنُ الْجَارُودِ، حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي الْمُتَّئِدِ -خَالُ ابْنِ
عُيَيْنَةَ -عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا
إِلَى مَيْسَرَتِهِ أَنْظَرَهُ اللَّهُ بِذَنْبِهِ إِلَى
تَوْبَتِهِ"
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad Al-Baurani Kadi Hudaibiyyah, tempat Bani Rabi'ah; telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali As-Sada-i, telah menceritakan kepada kami Al-Hakam Ibnul Jarud, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abul Muttaidkhal ibnu Uyaynah, dari ayahnya, dari Ata, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang memberikan masa tangguh kepada orang yang kesulitan sampai masa kelapangannya, niscaya Allah akan menangguhkan dosa-dosanya sampai ia bertobat.
* * *
وَاتَّقُوا
يَوْماً تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ
وَهُمْ لا يُظْلَمُونَ
Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakan, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281)
Telah diriwayatkan bahwa ayat ini merupakan ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan.
Ibnu Luhaiah mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair, bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir diturunkan di antara semuanya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281). Nabi Saw. hidup selama sembilan malam sesudah ayat ini diturunkan, kemudian beliau wafat pada hari Senin, tanggal dua, bulan Rabi'ul Awwal. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Ibnu Murdawaih meriwayatkan pula melalui hadis Al-Mas'udi, dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa akhir ayat Al-Qur'an dalam penurunannya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281)
Imam Nasai meriwayatkan melalui hadis Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir turunnya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna ter-hadap apa yang telah dikerjakan, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ad-Dahhak dan Al-Aufi, dari Ibnu Abbas.
As-Sauri meriwayatkan dari Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat Al-Qur'an yang paling akhir turunnya ialah firman Allah Swt.: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281) Tersebutlah bahwa antara turunnya ayat ini dan wafat Nabi Saw. terhadap tenggang masa selama tiga puluh satu hari.
Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat yang paling akhir diturunkan ialah firman-Nya: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. (Al-Baqarah: 281), hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa mereka (para sahabat) mengatakan, "Sesungguhnya usia Nabi Saw. sesudah ayat ini diturunkan tinggal sembilan hari lagi; ayat diturunkan pada hari Sabtu, dan beliau Saw. wafat pada hari Senin."
Ibnu Jarir dan Ibnu Atiyyah meriwayatkan dari Abu Sa'id, bahwa ayat yang paling akhir diturunkan adalah firman-Nya: Dan peliharalah diri kalian dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kalian semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedangkan mereka sedikit pun tidak dianiaya. (Al-Baqarah: 281)
Korelasi (hubungan) Ayat dengan Fenomena Ekonomi Kontemporer
Riba dan Pokok Harta (ra's al-mal)
UANG DAN UTANG PIUTANG
Pada asalnya uang mempunyai tiga fungsi penting, yaitu sebagai alat tukar, penyimpan nilai, dan pengukur nilai sebuah komoditas. Namun, dengan menyebarluasnya sistem bunga dalam transaksi keuangan saat ini, fungsi uang sudah bertambah menjadi sebuah komoditas. Fungsi uang sebagai komoditas didukung oleh beberapa teori keuangan kontemporer seperti dalam Loanable Funds Theory. Dalam teori ini bunga (interest) dianggap sebagai harga dari dana yang tersedia untuk dipinjamkan (loanable fund) yang menjadi salah satu variable yang mempengaruhi tingkat penawaran (supply of) dan permintaan (demand for) dari loanable fund tersebut.
Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa penyuplai loanable fund akan bersedia memberikan pinjaman uang kepada peminjam hanya apabila si peminjam bersedia mengembalikan uang pinjamannya dalam jumlah yang lebih besar dari pokok pinjamannya. Selisih antara jumlah yang harus dibayarkan peminjam dan pokok pinjamannya itulah yang disebut bunga. Secara kontrak, harga (bunga) tersebut mesti dibayar peminjam dalam keadaan apa pun (usaha si peminjam untung atau rugi) kepada pemberi pinjaman, karena si pemberi pinjaman dianggap sudah menjual sebuah komoditas yang disebut dengan uang.
Utang-piutang (al-qardl) adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Pengertian “sesuatu” dari definisi yang diungkapkan di atas mempunyai makna yang luas, selain dapat berbentuk uang, juga bisa saja dalam bentuk barang asalkan barang-barang tersebut habis karena pemakaian.
Istilah utang (kredit) dalam banyak buku dikatakan berasal dara kata credo. Artinya memberikan pinjaman uang atas dasar kepercayaan. Dalam perkembangannya, istilah credo juga digunakan dilingkungan agama yang berati kepercayaan. Secara fikih, orang yang meminjami uang tidak boleh meminta manfaat apapun dari yang dipinjaminya, termasuk janji dari si peminjam untuk membayar lebih. Kaidah fikih mengatakan : “setiap qard yang meminta manfaat adalah riba”. Oleh karena itu, apabila seseorang meminjam uang kepada temannya sebsar Rp. 100.000,-, seyogyanya membayar Rp. 100.000, pula tanpa berlebih.
Dasar hukum hutang-piutang ini adalah Qs. al-Mâidah (5): 2:
”…Hendaklah kamu tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan….”. (al-Maidah:2).
Qs. al-Hadid (57):11 :
”Siapakah yang menghutangkan (karena Allah) dengan hutang yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak” (Qs. al-Hadid: 1
Sedangkan dalam Sunnah Rasulullah saw. terdapat dalam Hadis Ibnu Majah:
عن ابن مسعود رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ما من مسلم قرضا مرتين الا كان كصدقتها مرة ( رواه ابن ماجه )
Artinya: ”Dari Ibnu Mas’ud:”Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: Seorang muslim yang mempiutangi seorang muslim dua kali, seolah-olah ia telah bersedekah kepadanya satu kali”.
Rukun dan syarat perjanjian hutang-piutang ada empat yaitu: (1) orang yang berpiutang. Disyaratkan orang yang berpiutang itu cakap melakukan tindakan hukum; (2) orang yang berhutang. Persyaratannya sama dengan point 1; (3) barang yang dihutangkan. Barang ini disyaratkan harus bisa diukur atau diketahui jumlah maupun nilainya; dan (4) lafaz, yakni adanya pernyataan baik dari pihak yang mengutangkan maupun dari pihak yang berutang.
Ada lima implikasi hukum dari sebuah akad hutang piutang.
1. Menetapkan peralihan pemilikan, sebagaimana berlaku pada akad jual beli, hibah, dan hadiah.
2. Penyelesaian hutang-piutang dilakukan di tempat akad berlangsung kecuali tidak membutuhkan ongkas jika dilaksanakan di tempat lain.
3. Muqtaridl wajib melunasi utang dengan barang yang sejenis jika obyek hutang adalah barang almishliyyât atau dengan barang yang senilai jika objek utang adalah barang al-qimiyyat.
4. Jika ditetapkan ada temponya dalam akad, maka muqridl tidak berhak menuntut pelunasan sebelum jatuh tempo.
5. Jika sudah jatuh tempo, sementara muqtaridl belum mampu melunasi hutang, hendaklah diberikan perpanjangan waktu.
Apabila terjadi kelebihan pembayaran dari jumlah uang pokok (ra’s al-mâl) atau sejumlah yang diterima oleh orang yang berutang, maka dapat dibedakan menjadi dua macam.
1. Kelebihan yang tidak diperjanjikan. Apabila kelebihan pembayaran dilakukan oleh orang yang berutang bukan didasarkan karena adanya perjanjian sebelumnya, maka kelebihan itu boleh (halal) bagi orang yang berpiutang, dan merupakan kebaikan bagi yang berhutang. Hal ini didasarkan pada Sabda Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmizi: ”Dari Abu Hurairah, ia berkata:”Rasulullah telah menghutang hewan, kemudian beliau bayar dengan hewan yang lebih tua umurnya dari hewan yang beliau hutang.
2. Kelebihan yang diperjanjikan. Kelebihan pembayaran oleh orang yang berhutang yang didasarkan kepada perjanjian hukumnya tidak boleh (haram). Hal ini berdasarkan Hadis Rasulullah saw. antara lain hadis Riwayat Baihaqi dan hadis Anas bin Malik yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
أن كل قرض جر منفعة فهو وجه من وجوه الربا ( أخرجه البيهقي )
Artinya:“Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka ia sejenis dari beberapa jenis riba”.
Al-qardl (hutang-piutang) uang, di tengah-tengah masyarakat telah terjadi fenomena yang sangat beragam. Di antara praktik yang sering dilakukan sebagai berikut:
1. Dengan pengembalian yang berlipat ganda dari modal pinjaman.
2. Pengembaliannya diserahkan kepada peminjam untuk memberikan berapapun presentase dari kelebihan modal.
4. Dengan menggunakan helah.
3. Dengan istilah pajek (memajek).
5. Dengan istilah nempok.
6. Dengan menggunakan standar harga barang.
Di antara keenam variasi tersebut ada sebagian masyarakat yang menganggapnya sesuai dengan konsep hukum ekonomi Islam. Tetapi ada pula yang menilai telah keluar dari perspektif hukum Ekonomi Islam.
Pola yang pertama dianggap keliru karena selama istilahnya berhutang (meminjam) tetap tidak boleh mengembalikan lebih dari modalnya (ra’s al-mâl) jika dilakukan lewat perjanjian terlebih dahulu. Sementara, pada model kedua biasanya dilakukan dengan perkataan orang yang mempiutangi: ”berapapun kelebihan yang mau anda (peminjam) kasih kepadaku”. Lafaz tersebut tetap memiliki maksud harus ada kelebihan dari pokok harta (ra’s al-mal). Berkaitan dengan hal ini, jangankan manfa’at (kelebihan itu) dalam bentuk yang sama (seperti uang), dalam bentuk yang lain pun tetap tidak boleh. Misalnya, seseorang diberikan pinjaman Rp 1.000.000,- lalu uang itu tetap utuh dikembalikan, namun dia mensyaratkan, seperti ucapannya:”saya titip barang ini lewat kamu kepada si A”, yang pada zahirnya kalau shahib al-mâl mengupah orang lain untuk mengantar barang tersebut akan menghabiskan sejumlah uang.”
Dalam praktik di atas, memang dilakukan dengan cara saling meridlai (‘antarâdlin), namun tetap dianggap kurang tepat karena “keridlaan” dalam kasus di atas masih ada unsur keterpaksaan, seperti ucapan: ”berapapun yang mau anda berikan kepada saya”, menunjukkan harus lebih dari modal (ra’s al-mal). Sebab, menurut sebagian ulama betapapun kecilnya ribâ itu tetap haram. Berbeda dengan jual beli, berapapun tinggi harganya tetap sah, karena sudah jelas barang yang mau dibeli walaupun labanya sampai 1000 %, karena jual beli tersebut termasuk akd tijârah (bisnis) dan akad timbal balik yang sempurna (mu’âwadah kâmilah). Sementara, transaksi pinjam-meminjam termasuk akd tabarru’ (shadaqah, charity).
Utang-piutang dengan menggunakan “helah”, seperti seseorang membutuhkan uang Rp 2.000.000,-, lalu pemilik modal tersebut menghargakan sapi miliknya seharga Rp 3.000.000,- dibayar dalam waktu tertentu pada masa yang akan datang. Cara seperti ini, tetap dianggap tidak tepat, karena termasuk helah yang salah. Helah yang benar, dilakukan dengan cara, misalnya karena Si B membutuhkan uang Rp 5.000. 000,-, lalu Si A hanya punya sapi, kemudian Si A hutangkan pada Si B seharga Rp. 5.000.000,-. Praktik utang piutang dengan menggunakan helah tersebut telah terjadi secara luas, bahkan lebih parah lagi dengan hanya mengandaikan dana pinjaman pada harga sapi, padahal sapi yang dimaksud tidak dimiliki oleh pihak yang mempiutangi. Istilah yang digunakan untuk mengganti istilah bunga (renten) pun mulai bermunculan, misalnya “uang pajak”, uang jasa, dan lain-lain. Cara yang ketiga ini mestinya harus menggunakan akad jual beli (murabahah), bukan akad hutang-piutang (qardl). Oleh karena itu, kelebihan harga yang disebabkan oleh penundaan pembayaran masih dibenarkan dalam Islam karena prinsip “waktu berharga” ini hanya boleh dilakukan dalam transaksi jual beli bukan utang piutang.
Sementara, jenis yang keempat, yakni istilah helah (yang benar) dan jenis kelima, yakni nempok sebenarnya memiliki ciri yang sama, yakni sama-sama dilakukan dengan akad jual beli.
Jenis terakhir, yakni uang piutang uang berstandar harga barang sepintas memiliki kemiripan dengan jenis keempat dan kelima. Jenis keempat dan kelima yang diperpinjamkan sebenarnya adalah benda, sedangkan yang keenam ini yang diperpinjamkan uang namun dengan menggunakan standar harga barang. Jenis terakhir ini masih sangat jarang ulama atau peneliti membahasnya. Praktik yang terakhir ini terjadi dengan cara sesorang membutuhkan uang untuk suatu keperluan, lalu meminjam uang sejumlah yang dibutuhkan sesuai kesepakatan (misalnya dua juta rupiah), yang pada saat peminjam meminjam uang sebesar itu akan dapat membeli semen sebanyak 40 sak, lalu pada saat dikembalikan, misalnya tahun depan dikembalikan seharga 40 sak semen, yang sangat mungkin harganya lebih tinggi dari harga pada tahun sebelumnya. Secara akal sehat cara yang terakhir ini sangat rasional dan sangat memenuhi rasa keadilan. Paling tidak si pemberi pinjaman telah memberikan kesempatan uangnya dipergunakan oleh peminjam dalam jangka waktu satu tahun, hal ini tentu saja sangat membantu peminjam. Sementara, pemberi pinjaman tidak dirugikan karena barang yang diperoleh dengan uang yang dimiliki pada tahun ketika ia memperpinjamkan uangnya dengan saat dikembalikan uang tersebut masih sama, yakni dapat membeli 40 sak semen.
Dari sisi akad, akad hutang-piutang ini bisa dikategorikan menjadi tiga macam:
Utang-piutang barang dengan harga lebih tinggi dibandingkan harga semula disebabkan karena penundaan waktu.
Utang-piutang uang dengan pengambilan lebih dari harga pokok (ra’s al-mal).
Utang-piutang uang dengan standar harga barang.
Yang pertama dan kedua telah dijelaskan secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh. Pada umumnya, para ulama mengkategorikan kedua jenis utang-piutang ke dalam transaksi yang tidak boleh dilebihkan pengembaliannya dari jumlah pokok pinjaman (ra’s al-mal) dengan cara perjanjian terlebih dahulu. Jenis yang pertama boleh dilakukan asalkan dilakukan dengan akad jual beli (murâbahah dan bai’ bi tsaman ajil/bai’ mu’ajjalah) bukan dengan hutang-piutang (al-qardl). Dalil yang sering dijadikan alasan adalah hadis:”Setiap pinjaman (hutang) yang mengandung manfaat (kelebihan) maka hukumnya riba”. Sementara, yang ketiga ini belum dijumpai secara eksplisit dalam kitab-kitab fiqh.
Menurut M. Syafii Antonio, dalam pandangan Islam dibolehkannya penetapan harga tangguh-bayar (deferred payment) lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Demikian juga semakin panjang waktu penagihan akan semakin banyak pula biaya yang diperlukan bank untuk administrasi, collection, dan SDM yang mengoperasionalkannya. Sementara, Rafiq Yunus al-Misri menyimpulkan bahwa secara umum dalam Islam diakui juga waktu itu ada nilainya (harganya). Dengan pola pikir seperti itu, menaikkan harga barang karena penundaan dalam membayar hukumnya boleh. Namun prinsip “waktu berharga” ini hanya boleh diterapkan dalam transaksi jual beli, tidak boleh diterapkan dalam Utang-piutang. Karena jual beli merupakan akad timbal balik yang sempurna (mu’âwadah kâmilah) sedangkan Utang-piutang merupakan akd tabarru’ (sedekah, charity).
PRINSIP-PRINSIP DALAM AKTIVITAS UTANG-PIUTANG
Prinsip Al-‘Adalah (Justice)
Perintah-perintah untuk menegakkan keadilan dalam al-Qur’an disampaikan dalam berbagai konteks. Selain perkataan “ ’adl”, al-Qur’an juga menggunakan kata “qisth” dan “wasth”. Semua kata-kata tersebut menurut Nurkholis Majid bertemu dalam ide umum yang berarti “sikap tengah yang berkeseimbangan dan jujur”.
Kata al-‘adl dan al-qisth bisa ditemukan pada Qs. al-An’âm(6): 152, al-Mâidah (5): 8 dan al-Hujurât (49): 9. Di samping itu, juga digunakan kata al-mîzân. Kata ini dalam al-Qur’an dapat dijumpai dalam surat as-Syura (42): 17 dan al-Hadîd (57): 25. Secara tematik, kemestian berlaku adil kepada sesama istri dinyatakan dalam Qs al-Nisâ’ (4):128. Keadilan sesama muslim dinyatakan dalam Qs al-Hujurât (49): 9. Keadilan pada diri sendiri sebagai orang muslim dijelaskan dalam Qs al-An’âm (6): 52. Ayat yang paling tegas tentang masalah keadilan terhadap si miskin dan kaya adalah Qs. al-Nisâ’ ayat 135. Ayat-ayat yang menunjukkan keseimbangan dan keadilan dalam perintah Allah atas hamba-hamba-Nya banyak sekali dalam al-Qur’an. Perintah seperti itu antara lain perintah haji bagi yang mempunyai kekuasaan untuk menunaikannya, perintah menunaikan zakat bagi yang telah memenuhi kadar maksimal kekayaannnya atau nisâb, dsb. Untuk telaah lebih lanjut dapat dibaca ayat-ayat berikut ini: al-Baqarah (2): 48, 123, 282, al-Nisâ’ (4): 58, al-Mâidah (5): 95, 106, al-An’âm (6): 70, 115, al-Nahl (16): 76, 90, dan al-Thalâq (65): 2.
Sedangkan pengertian pokok tentang keadilan menurut Murthadla al-Muthahhari ada 4, yaitu:
a. Perimbangan atau keadaan seimbang (mauzûn), tindak pincang. Jika misalnya suatu masyarakat ingin mampu bertahan dan mantap, maka ia harus berada dalam keseimbangan (muta’âdil), dalam arti bahwa bagian-bagiannya harus berada dalam ukuran dan hubungan satu dengan lainnya secara tepat. Ini berarti bahwa keadilan tidak mesti menuntut persamaan. Suatu bagian dalam hubungannya dengan bagian lain dan dengan keseluruhan kesatuan menjadi efektif tidak karena ia memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang sama, melainkan karena memiliki ukuran dan bentuk hubungan yang “pas” dan sesuai dengan fungsi itu.
b. Persamaan (musâwah) dan tiadanya diskriminasi dalam bentuk apapun. Perlakuan yang sama yang dimaksud di sini adalah perlakuan yang sama kepada orang-orang yang mempunyai hak yang sama (karena kemampuan, tugas, dan fungsi yang sama), maka pengertian persamaan sebagai makna keadilan dapat dibenarkan. Seorang manajer diperlakukan persis sama dengan seorang pesuruh, maka yang terwujud bukanlah keadilan, melainkan justru kezaliman.
c. Pemberian hak kepada setiap orang yang berhak (I’thâ’ kulli dzi haqqin haqqahu). Kezaliman dalam pengertian ini ialah perampasan hak dari orang yang berhak, dan pelanggaran hak oleh yang tidak berhak. Berkaitan dengan adil dalam pengertian ini menyangkut dua hal, yakni masalah hak dan pemilikan dan kekhususan hakiki manusia atau kualitas manusiawi tertentu yang harus dipenuhi oleh dirinya dan diakui orang lain.
d. Keadilan Tuhan (al-‘adl al-ilâhi), berupa kemurahan-Nya dalam melimpahkan rahmat kepada seseorang sesuai dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya dan pertumbuhannya ke arah kesempurnaan. Keadilan mengandung prinsip dasar yang universal, tetapi penerapannya masih harus mempertimbangkan batas waktu dan ruang.
Mohammad Daud Ali menempatkan keadilan itu sebagai salah satu nilai dasar ekonomi Islam di samping nilai dasar kepemilikan dan keseimbangan. Kata adil adalah kata yang paling banyak disebut dalam al-Qur’an (lebih dari 1000 kali), setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, dalam Islam, keadilan adalah titik tolak, sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia. Ini berarti bahwa nilai kata itu sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam kehidupan hukum, sosial, politik, dan ekonomi. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa:
a. Keadilan itu harus diterapkan di semua bidang kehidupan ekonomi. Dalam proses produksi dan konsumsi, misalnya, keadilan harus menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantas keborosan (Qs. al-Isra’ [17]:16). Dalam distribusi keadilan harus menjadi penilai yang tepat, faktor-faktor produksi dan harga, agar hasilnya sesuai dengan takaran yang wajar dan kadar yang sebenarnya. (Qs. al-Hijr [15]:19).
b. Keadilan juga berarti kebijaksanaan mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakât, infâq, dan shadaqah. Watak utama nilai keadilan yang dikemukakan di atas adalah bahwa masyarakat ekonomi haruslah merupakan masyarakat yang memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Penyimpangan dari watak ini akan menimbulkan bencana bagi masyarakat yang bersangkutan.
Karena prinsip keadilan ini pulalah kiranya lahir kaidah yang menyatakan bahwa hukum Islam dalam praktiknya dapat berlaku sesuai dengan ruang dan waktu. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan, kesulitan menjadi kelonggaran, maka terbataslah kelonggaran itu sekedar terpenuhinya kebutuhan yang bersifat primer atau sekunder (dlarûry atau hâjjiy). Kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan adalah: “al-Umûru idzâ dlâqat ittasa’at wa idza ittasa’at dlâqat”. Secara lebih khusus dalam ranah ekonomi Islam, Afzalurrahman membagi keadilan menjadi empat, yaitu keadilan dalam produksi, keadilan dalam konsumsi, keadilan dalam distribusi, dan keadilan dalam pertukaran.
‘Adamu Tadlis, Al-gharar, wa Riba.
Tadlis ialah Transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak unknown to one party. Setiap transaksi dalam Islam harus didasarkan pada prinsip kerelaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha). Mereka harus mempunyai informasi yang sama (complete information) sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi/ditipu karena ada sesuatu yang unknown to one party (keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui informasi yang diketahui pihak lain, ini merupakan asymetric information. Unknown to one party dalam bahasa fikihnya disebut tadlis (penipuan), dan dapat terjadi dalam 4 (empat) hal, yakni dalam: kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan.
Gharar ialah suatu transaksi yang mengandung ketidak-jelasan atau ketidakpastian. Gharar mengandung incomplete information. Namun berbeda dengan tadlis, di mana incomplete informationnya hanya dialami oleh satu pihak saja (onknown to one party), misalnya pembeli saja atau penjual saja, dalam gharar incomplete information dialami oleh dua pihak, baik pembeli maupun penjual. Jadi dalam gharar terjadi ketidakpastian (ketidakjelasan) yang melibatkan dua pihak. Contohnya jual beli ijon, jual beli anak sapi yang masih dalam kandungan induknya, menjual ikan yang ada di dalam kolam, dsb. Sebagaimana tadlis, jual beli gharar juga terjadi pada empat hal, yaitu : kualitas, kuantitas, harga dan waktu.
Riba termasuk transaski yang bathil, bahkan hampir semua ulama menafsirkan firman Allah ”memakan harta dengan bathil” itu dengan riba sebagai contoh pertama. Riba secara etimologis berarti pertambahan Secara terminoligi syar’i riba ialah, penambahan tanpa adanya ’iwadh. Secara teknis, maknanya mengacu kepada premi yang harus dibayar si peminjam kepada pemberi pinjaman bersama dengan pinjaman pokok yang disyaratkan sejak awal. Penambahan dari pokok itu disyaratkan karena adanya nasi’ah (penangguhan).
Perbedaan Ekonomi dalam batas yang wajar
Islam mengakui adanya perbedaan ekonomi di antara setiap orang, tetapi tidak membiarkannya bertambah luas, Islam berusaha menjadikan perbedaan itu dalam batas-batas yang wajar, adil dan tidak berlebihan. Sesuai dengan firman Allah Swt.
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (Qs. Az-Zukhrif: 32)
Islam tidak menganjurkan kesamaan ekonomi, tetapi mengupayakan kesetaraan sosial. Kesetaraan sosial ini memungkinkan setiap orang memiliki peluang yang sama untuk berkompetisi menjadi yang terbaik. Kesetaraan ini membentuk keharmonisan dalam kehidupan manusia. Ketidakstabilan dan kesenjangan yang muncul di tengah masyarakat karena sistem yang diterapkan manusia. Misalnya, masyarakat lebih menghormati orang yang memiliki jabatan atau orang yang kaya raya, sehingga orang yang tidak memiliki jabtan dan yang tidak berharta merasa Allah tidak adil kepadanya.
Kesimpulan
Daftar Pustaka
0 komentar:
Post a Comment
Untuk Request Materi Lain, Silahkan Tuliskan di Kolom Komentar